Home » » Ketika Utang Menjadi Gaya Hidup

Ketika Utang Menjadi Gaya Hidup

Written By Admin on Senin, 23 September 2013 | 09.50


Coba amati satu persatu perabotan di rumah dan ingat-ingatlah proses saat Anda memperolehnya. Mana yang lebih banyak, dibeli tunai atau utang?
Memang, membeli barang dengan cara utang atau kredit tidak melulu buruk. Hanya, bila barang-barang di rumah ternyata lebih banyak yang diperoleh dengan kredit, kita harus waspada. Jangan-jangan kita sudah terperosok dalam gaya hidup yang berbahaya dengan mudah sekali memutuskan membeli barang secara kredit.
Kenyataannya, kini kita memang sudah dikelilingi berbagai fasilitas dan penawaran kredit yang sangat memanjakan insting konsumtif kita. Hampir semua barang kebutuhan bisa didapatkan dengan kredit. Mulai dari rumah, motor, sampai panci. Iming-imingnya pun sangat menggoda, dari yang menawarkan uang muka sangat murah sampai bunga nol persen.
Sepeda motor, misalnya, kita tidak perlu menunggu hingga mempunyai uang belasan juta untuk bisa memilikinya. Kini, dengan dana 500 ribu rupiah saja kita sudah bisa membawa pulang sebuah sepeda motor dan memakainya ke mana-mana. Pesona dan gengsi yang melekat pada produk membuat kita lupa berpikir panjang, sanggupkah kita membayar cicilannya sampai lunas?
Gejala ini meluas di masyarakat kita. Kita sering tergoda memiliki barang-barang dengan cara utang padahal barang itu sebenarnya tidak mendesak untuk kita miliki. Menurut perencana keuangan dari Zelts Consulting, Ahmad Gozali, kondisi ini membahayakan. “Kebanyakan masyarakat suka kredit barang-barang yang sifatnya konsumtif,” ujarnya. Padahal, tambahnya, berutang hanya boleh dilakukan untuk barang-barang yang produktif atau untuk keperluan mendesak.

REGULASI DAN POPULASI
Apa yang mendorong menjamurnya gaya hidup mudah berutang ini? Menurut Ahmad, faktor pendorong pertama adalah regulasi yang terlalu longgar. “Untuk kredit-kredit konsumtif itu tidak terlalu dibatasi oleh BI sehingga sangat dimudahkan,” ungkapnya. Efeknya terlihat jelas, sepeda motor dengan harga Rp12 juta dapat dengan mudah dibawa pulang dengan uang Rp500 ribu. TV plasma seharga Rp8-10 juta pun bisa dimiliki dengan uang awal Rp200 ribu.
Lantas, apakah yang mengambil kredit sepeda motor itu benar-benar butuh sepeda motor? Belum tentu. Beberapa dari mereka sebenarnya bisa saja pergi ke tempat kerja dengan menggunakan angkutan umum. Namun gengsi dan hawa nafsu mendorong mereka untuk tetap kredit motor. TV, lebih parah lagi. Kotak elektronik yang acaranya lebih banyak yang negatif daripada positif ini sebenarnya lebih tak layak lagi untuk diutangi.
Lembaga keuangan juga kerap kali “bandel”. Demi mengejar komisi penjualan mereka tidak selektif dalam mengabulkan sebuah aplikasi kredit. “Sering sekali kita lihat si pemohon sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kredit, tapi karena mengejar komisi akhirnya diloloskan juga,” tutur Ahmad. Maka semakin gemarlah masyarakat untuk berutang.
Untuk membenahi kondisi ini, mulai Juli 2012 akan ada peraturan baru. Pemerintah akan memperketat peraturan kredit. “Nanti tidak bisa lagi banting-banting DP (down payment). Uang muka angsuran minimal 20% dari nilai barang,” urai Ahmad. Kebijakan ini bertujuan mencegah terjadinya kredit macet dan menjauhkan masyarakat dari kebiasaan berutang.
Faktor kedua yang mendorong maraknya gaya hidup berutang ini adalah tumbuh pesatnya pertumbuhan populasi penduduk kalangan menengah Indonesia. Menurut Bank Dunia, penduduk kalangan menengah adalah kalangan yang pengeluarannya sekitar US$2-20 per kapita/hari. Atau, sekitar US$20-200 ribu rupiah per kapita/hari. Kalau dari segi penghasilan sekitar 2,5 sampai 20 juta rupiah perbulan. “Kalangan menengah ini mereka yang sudah tidak pusing lagi memikirkan kebutuhan pokok dan sudah mulai memikirkan kebutuhan sekunder dan tersier,” jelas Ahmad. “Tapi, untuk kebutuhan-kebutuhan sekunder itu kadang dia juga belum bisa beli tunai, akhirnya dia kredit.”

JAGA KUALITAS HIDUP
Ketika sampai di posisi kalangan menengah inilah seseorang harus wasapada. Walaupun sudah aman dari pemenuhan kebutuhan pokok, tapi jangan sampai ge-er bisa memenuhi semua kebutuhan sekunder, apalagi dengan cara kredit yang otomatis membuat harga barang jadi lebih mahal.
Menahan diri untuk tidak berutang barang-barang konsumtif meskipun kreditnya terasa ringan adalah hal bijak. Untuk barang-barang konsumtif, Ahmad punya tips sederhana, “Kalau uangnya ada silakan beli, tapi kalau uangnya belum ada, enggak usah beli.”
Sedangkan untuk barang-barang produktif, kredit dengan perhitungan yang cermat bisa ditolerir. Ini penting agar kita tidak terjerat utang yang bisa membawa akibat-akibat buruk, seperti perasaan yang terus-menerus was-was, silaturahim yang jadi renggang, kebutuhan masa depan yang sulit dipenuhi, bahkan kebutuhan pokok hari ini yang jadi kian berat.
Muara dari jeratan utang adalah menurunnya kualitas hidup. “Bertambahnya barang-barang belum tentu meningkatkan kualitas hidup. Sedangkan bertambahnya utang jelas mengurangi kualitas hidup,” pungkas Ahmad, tegas.

Sumber : http://ummi-online.com
Share this article :
0 Comments
Tweets
Komentar

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Copyright © 2011. DPC PKS BATANGHARI LAMPUNG TIMUR - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger