“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena
mereka telah memberi nafkah sebagian dari harta mereka,” (QS. An-Nisa’: 34)
Sudah sejak lama beredar pemahaman di kalangan aktivis Islam bahwa
ketika sudah menikah, maka semua bentuk pekerjaan rumah tangga merupakan
kewajiban suaminya. Apa maksudnya ya? Hmmm, kita semua tahu, suami
wajib mencari nafkah. Nafkah adalah segala yang dibutuhkan oleh seorang
manusia, baik bersifat materi maupun bersifat ruhani. Dari segi materi,
umumnya nafkah itu terdiri dari makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Maka seorang isteri berhak untuk mendapatkan nafkah itu dengan tanpa
harus ada kewajiban untuk mengolah, mengelola atau mengurusnya.
Jadi sederhananya, posisi isteri hanya tinggal buka mulut dan suami
yang berkewajiban menyuapi makanan ke mulut isterinya. Tidak ada
kewajiban isteri untuk belanja bahan mentah, memasak dan mengolah hingga
menghidangkannya. Semua itu pada dasarnya kewajiban asasi seorang
suami.
Seandainya suami tidak mampu melakukannya sendiri, tetap saja pada
dasarnya tidak ada kewajiban bagi isteri untuk melaksanakannya. Bahkan
kalau pun suami harus menyewa pembantu atau pelayan untuk mengurus makan
dan urusan dapur.
Bahkan memberi nafkah kepada anak juga bukan kewajiban isteri. Suami
itulah yang punya kewajiban untuk memberi nafkah kepada anak-anaknya.
Termasuk memberinya air susu ibu, bukan kewajiban isteri tetapi
kewajiban itu pada dasarnya ada pada suami. Kalau perlu, suami
mengeluarkan upah kepada isterinya untuk menyusui anaknya sendiri.
Namun apa yang kita bahas di atas hanyalah kalau kita bicara tentang
hak dan kewajiban antara suami isteri secara hitam dan putih. Tanpa
melihat sisi-sisi lain seperti pertimbangan moral, etika dan hubungan
sosial.
Hubungan suami isteri tidak mungkin selamanya hanya didasarkan pada
hubungan hukum hitam putih yang kaku. Tentu ada sisi-sisi lain sepeti
aspek rasa cinta, saling memiliki, saling tolong, saling merelakan hak
dan saling punya keinginan untuk membahagiakan pasangannya.
Sehingga seorang isteri yang pada dasarnya tidak punya kewajiban atas
semua hal itu, dengan rela dan ikhlas melayani suaminya, belanja untuk
suami, masak untuk suami, menghidangkan makan di meja makan untuk suami,
bahkan menyuapi makan untuk suami kalau perlu. Semua
dilakukannnyasemata-mata karena cinta dan sayangnya kepada suami.
Dengan semua hal itu, tentunya isteri akan menerima pahala yang besar
dari apa yang dikerjakannya. Karena dengan bantuannya itu, suami akan
menjadi senang dan ridha kepadanya.
Maka pasangan itu akan memanen kebaikan dan pahala dari Allah SWT.
Suami mendapat pahala karena sudah melaksanakan kewajiabnnya, yaitu
memberi hartanya untuk nafkah isterinya. Isteri mendapat pahala karena
membantu meringankan beban suami. Meski hukumnya tidak wajib.
Itulah hubungan cinta antara suami dan isteri, yang jauh melebihi
sekedar hubungan hak dan kewajiban. Tentu saja ketika seorang isteri
mengerjakan hal-hal yang pada dasarnya menjadi kewajiban suami, maka
wajar bila suami mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan
yang tulus. [disarikan dari rumah fiqih]
http://rumahkeluarga-indonesia.com