TAUJIH UST. MUSYAFFA’ AHMAD RAHIM, LC
PADA ELECTION UPDATE KE III
DPP PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
(JCC-SENAYAN/RABU, 20 NOPEMBER 2013)
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله نحمده ونستعينه و نستغفره و نستهديه ونتنوب إليه ونعوذ بالله من شرور
أنفسنا و من سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضلله ومن يضلل فلا هادي له.
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له و أشهد أن محمدا عبده ورسوله.
اللهم فصل وسلم على نبينا وحبيبنا وقدوتنا محمد صلى الله عليه وسلم وعلى
آله وصحابته و من سار على نهجه إلى يوم الدين. أما بعد.
يقول
سبحانه وتعالى في كتابه الكريم أعوذ بالله من الشيطان الرجيم بسم الله
الرحمن الرحيم {لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيرًا (21) وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا
مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا
زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا (22) } [الأحزاب: 21، 22
Ikhwan dan akhwat yang dimuliakan Allah SWT.
Alhamdulillah wasyukrulillah. Hari demi hari, waktu demi waktu menunjukkan bahwa Alhamdulillah wa syukrulilla sampai sekarang kita masih dalam garis dan berada di jalan dakwah ini. Terus meniti jalan ini, langkah-demi langkah. Dan pepatah mengatakan
وَمَنْ سَارَ عَلَى الدَّربِ وَصَلَ
Man saara ‘alad-darbi washal
“dan siapa yang melangkahkan kaki diatas jalan. Meskipun pelan atau lambat, asal terus melangkah insya Allah kita akan mencapai tujuan”
Allaahu Akbar…
Dalam mensikapi program atau kerja atau target. Atau dalam mensikapi satu masalah yang muncul. Ada beberapa opsi atau beberapa sikap. Ada yang bersikap seperti yang diceritakan dalam surat at-taubah. Yang belum apa-apa sudah memandang bahwa apa yang akan dijalani itu jauh dan berat. Diceritakan oleh Alqur’anul Kariim.
{لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَاتَّبَعُوكَ وَلَكِنْ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ } [التوبة: 42
Ada yang belum apa-apa, pikirannya adalah terlalu jauh, ini terlalu sulit. Padahal jauh dan sulit itu hanyalah perasaan saja. Karenanya ayatnya mengatakan : “wa laakin ba’udat ‘alaihim asy-syuqqah”. Kata Allahu Yarham ust. Rahmat Abdullah, ayatnya mengatakan “ba’udat ‘alaihimus syuqqah” bukan “ba’udatisy-syuqqah ‘alaihim”. Kalau tadabbur beliau “ba’udatisy syuqqah ‘alaihim” itu jauh secara waqi’iy dan realitanya jauh. Tapi kalau “ba’udat ‘alaihim asy-syuqqah” itu artinya jauh dan berat di perasaan saja. Yang pada hakikatnya tidaklah jauh dan tidaklah berat. Itu masalah pensikapan. Dan saya mengutip beliau lagi, kalau memang itu masalah pensikapan jiwa dan perasaan kita. Maka solusinya adalah apa yang Allah firmankan di surat albalad. Allah berfirman ;
{فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ (11) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12) فَكُّ رَقَبَةٍ (13)} [البلد: 11 - 13
Rintangan yang dianggap jauh, rintangan yang dianggap berat itu sebenarnya perasaan saja. Perasaan kita, kondisi kejiwaan kita. Maka solusi qur’an terhadap masalah itu adalah ‘aqabah yang biasa diartikan bukit. Itu bukan di daki tapi ‘aqabah itu mesti ditabrak.
Oleh karena itu ikhwati fillah, perasaan-perasaan berat, sulit. Solusinhya adalah kita mesti tabrak itu bukit. Allaahu Akbar…
Makanya ayatnya mengatakan, “Falaqtahamal ‘aqabah”, demi Allah hendaklah manusia itu menabrak aqabah tersebut. Lalu Allah jelaskan bahwa perasaan yang berat yang mesti ditabrak itu, yang paling utama adalah berkenaan dengan masalah kesiapan kita untuk berkorban dan untuk berjuang. Terutama adalah at-tadlhiyyah bil maal. Karenanya lanjutannya adalah “fakku raqabah aw ith’aamun fii yaumin dzii masghabah. Yatiiman dzaa maqrabah aw miskinan dzaa matrabah”.
Ikhwati wal akhwati fillah,
Itu satu sikap kejiwaan, mensikapi tanggung jawab atau mas-uliyah yang kita lakukan.
Ada sikap lain yang diungkapkan oleh pribahasa arab juga. Begitu dia sadar bahwa tanggung jawab atau mas-uliyahnya besar. Tapi ada yang keliru dalam mensikapi. Dia ingin segera selesai dari tanggung jawab itu. Ingin cepat-cepat menyelesaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Maka yang dia lakukan adalah Dia memacu kendaraan atau fasilitas atau daya dukung yang dia miliki diluar kemampuan yang dimiliki. Tapi akibatnya:
فَإِنَّ مُنْبَثًّا لَا عَرْضًا قَطَعَ وَ لَا ظَهْرًا عَبْقَى
Bahwa orang yang memaksa-maksakan diri. Ceritanya adalah seseorang menempuh perjalanan jauh. Melewati padang pasir, menunggang seekor kuda. Karena dia ingin segera sampai dan ingin segera istirahat. Maka kuda itu dipacu diluar sampai batas maksimal. Bahkan diluar kemampuan kuda tersebut. Akhirnya di tengah jalan kudanya mati, dia pun tidak lama lagi mungkin juga akan menyusul mati. “laa ‘ardhan qatha’a”. jarak tempuh yang hendak dilalui itu tidak sampai. “walaa zhahran ‘abqaa” dan kendaraannya pun mati. Itu sikap yang tidak tepat. Sikap terburu-buru, memaksakan diri, dalam arti melampaui batas yang mungkin kita bisa lakukan.
Tetapi sikap yang benar adalah “wa man saara ‘aladdarbi washola”. Apa yang menjadi mas-uliyah kita , kita jalanin saja. Sedikit demi sedikit, pelan tetapi pasti dan tidak pernah berhenti. Jadi terus melangkah, terus berjalan. Manakala kita jalan, In syaa Allaah man saara ‘alad darbi washala”.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah.
Dalam masalah ini “lanaa fi rasulillaahi shallaahu ‘alaihi wasallam uswatun hasanah”. Kita mempunyai uswah atau keteladanan dari Rasul kita Muhammad saw sebagaimana difirmankan dalam surat al ahzab ayat 21-22. Dan ayat 21-22 yang biasa kita pakai untuk menjelaskan bahwa Rasulullah teladan kita. Oleh Allah SWT aspek keteladanan Rasulullah saw, cerita ayatnya ditempatkan di tengah-tengah suasana perang ahzaab. Bahwa seakan-akan makna spesifiknya adalah saat kaum muslimin ketika menghadapi situasi atau kondisi yang seperti perang ahzab. Maka teladan yang baik dalam mensikapi itu adalah Rasulullah saw. Meskipun ayat tersebut berlaku untuk segala bentuk sisi-sisi keteladanan Rasulullah saw. Tapi penempatannya di tengah-tengah cerita perang ahzab menggambarkan bahwa khususnya saat kita menghadapi situasi dan kondisi seperti yang terjadi di dalam ahzab tsb.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا} [الأحزاب: 21
Ikhwan dan akhwat yang dimuliakan Allah swt.
Alqur’anul karim saat bercerita tentang ahzab ini. Menggambarkan bahwa sikap yang di capture oleh Allah SWT itu ada berbagai macam. Ada yang digambarkan oleh Allah SWT dengan istilah almunafiqun walladziina fii qulubihim maradh. Saat terjadi berita tentang ahzab ini ternyata ada kelompok yang oleh ayat ini disebut dengan istilah “almunaafiquuna walladziina fii quluubihim maradh”. Allah berfirman :
وَإِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا غُرُورًا} [الأحزاب: 12
Orang munafik itu berkata bahwa semua yang dijanjikan oleh Allah SWT. Semua yang dijanjikan oleh Rasulullah saw. Itu hanyalah tipuan belaka.
Ikhwan dan akhwat yang dimuliakan Allah SWT.
Yang perlu kita bangun ditengah suasana seperti sekarang ini adalah bahwa masa depan itu adalah untuk Islam, almustaqbal li haadzad diin. Allaahu Akbar…
Sebagaimana pernah ditulis oleh Sayyid Qutbh rahimahullah. Atau “Al Islam wal mustaqbalul basyariyah”, islam dan masa depan umat manusia. Sebagaimana pernah ditulis oleh Abdullah Azzam rahimahullah. Atau yang ditulis oleh DR. Yusuf Qardhawi dalam bukunya “Mubasysyiraat bi intishaaril Islaam”. Bahwa masa-masa yang akan datang adalah semuanya memberi berita gembira tentang kemenangan Islam. Oleh karena itu spirit istibsyaar, merasa mendapatkan berita gembira bahwa kita akan menghadapi intishaaril Islaam di masa yang akan datang itulah yang harus kita bangun pada diri kita sekarang ini. Jangan menjadi seperti almunaafiquun dan alladziina fii quluubihim maradh. Yang mengatakan “Maa wa’adanallaahu wa rasuuluhu illaa ghuruuraa”.
Sirah menceritakan bahwa menjelang perang ahzab terjadi saat kaum muslimin menggali parit. Ada bagian dari parit itu berupa batu besar yang tidak bisa digali. Dan kalau itu tidak digali artinya menjadi titik lemah pertahanan kaum muslimin. Singkat cerita akhirnya
Rasulullah sendiri turun tangan dan memukul batu besar itu dan saat batu tersebut dipukul keluar cahaya. Dan Rasulullah kemudian bersabda “futihat kunuzusy Syaam. Futihat kunuuzul kisra”. Bahwa kunuuz, gudang-gudang kekayaan, materi yang ada di syam dan yang ada di Persia telah dibuka oleh Allah SWT untuk diberikan kepada kaum muslimin. Allaahu Akbar…
Tetapi setelah perang benar-benar terjadi, orang-orang yang disebut al-munafiqun dan alladziina fii quluubihim maradh. Karena perangnya sangat dahsyat meskipun tidak terjadi adu fisik. Tapi sangat melelahkan, karena dikepung. Pada waktu itu belum turun syariat shalat khauf, sehingga kaum muslimin tidak sempat shalat zhuhur pada waktunya, tidak sempat shalat ashar di waktunya dan tidak sempat shalat maghrib di waktunya. Dan shalat zhuhur, ashar, maghrib , isya baru dilaksanakan sekaligus pada waktu isya. Waktu itu belum ada shalat khauf.
Situasi yang sulit ini direspon oleh ayat itu. Yang disebut almunaafiquun walladziina fii quluubihim maradh. Mereka mengatakan, “boro-boro kita mendapatkan kunuuzusy-syaam. Boro-boro kita mendapatkan kunuuzul kisra. Mau kencing saja kita tidak sempat”. Memang orang-orang al-munafiquun walladziina fii quluubihim maradh urusannya adalah urusan makan dan keluar setelah makan. Dan itulah yang digambarkan dengan istilah, “maa wa’adallahu wa rasuuluhu illaa ghuruuraa”.
Tetapi sebagai kebalikan sikap ini digambarkan di ayat 22 adalah :
{وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا} [الأحزاب: 22
Tetapi bagi orang-orang beriman. Kondisi yang sulit seperti itu justeru menjadi berita gembira. Orang beriman logikanya sederhana. Memang sekarang kita berada di jam 3 misalnya masih siang. Tiga jam lagi nanti masuk waktu maghrib, mulai gelap. Setelah ditunggu bukan semakin terang, semakin gelap. Karena memasuki waktu isya. Dan semakin ditunggu bukan semakin terang, semakin bertambah gelap. Dan semakin ditunggu wakatu itu semakin bertambah gelap. Tapi bagi orang beriman, begitu waktu itu semakin gelap pertanda tidak lama lagi akan datang fajar. Allaahu Akbar…
Mungkin kita kemarin merasa bahwa kita sudah berada di tempat yang gelap. Setelah kita bekerja, kita tunggu bukannya semakin terang tapi malah semakin gelap. Tapi kita terus bekerja lagi dan kita tunggu lagi. Bukannya semakin ringan tapi malah semakin gelap. Kondisi seperti itu –ikhwati fillah- justeru bagi kita sebagai pejuang dan aktivis harus semakin yakin bahwa justeru itulah janji Allah semakin dekat. Sebab “A laisa shubhu bi qarib”. Dan memang kalau malam-malam semakin gelap begitu, yang perlu kita ingat adalah surat albaqarah ayat 187. Allah SWT berfirman:
{أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ} [البقرة: 187
Supaya tidak capek nunggunya. Allaahu Akbar….
Maksudnya supaya jangan terlalu. “ini kok semakin gelap ditunggu”.
Ikhwan dan akhwat fillah yang dimuliakan Allah SWT.
Ada juga kelompok dalam situasi seperti ahzab itu yang oleh ayat disebut dengan istilah thaa-ifah dan fariiqun. Allah berfirman :
وَإِذْ
قَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ يَا أَهْلَ يَثْرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمْ
فَارْجِعُوا وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيقٌ مِنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ
بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيدُونَ إِلَّا
فِرَارًا (13) وَلَوْ دُخِلَتْ عَلَيْهِمْ مِنْ أَقْطَارِهَا ثُمَّ
سُئِلُوا الْفِتْنَةَ لَآتَوْهَا وَمَا تَلَبَّثُوا بِهَا إِلَّا يَسِيرًا
(14) وَلَقَدْ كَانُوا عَاهَدُوا اللَّهَ مِنْ قَبْلُ لَا يُوَلُّونَ
الْأَدْبَارَ وَكَانَ عَهْدُ اللَّهِ مَسْئُولًا (15) قُلْ لَنْ
يَنْفَعَكُمُ الْفِرَارُ إِنْ فَرَرْتُمْ مِنَ الْمَوْتِ أَوِ الْقَتْلِ
وَإِذًا لَا تُمَتَّعُونَ إِلَّا قَلِيلًا (16) قُلْ مَنْ ذَا الَّذِي
يَعْصِمُكُمْ مِنَ اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءًا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ
رَحْمَةً وَلَا يَجِدُونَ لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا
نَصِيرًا (17)} [الأحزاب: 13 - 17
Ikhwan dan akhwat fillah yang dimuliakan Allah SWT.
Jangan sampai kita masuk dalam kategori al munafiqun atau dalam kategori alladziina fii qulubihim maradh. Yang memahami situasi dan kondisi dengan pemahaman yang salah. Lalu berkesimpulan salah, mengatakan “maa wa’adallahu wa rasuuluhu illaa ghuruuraa”. Tapi juga jangan sampai kita menjadi seperti yang digambarkan dengan istilah thaa-ifah dan yang digambarkan dengan istilah fariiqun ini. Bagaimana itu? Begitu suasana ahzab itu semakin mencekam, semakin mengerikan dan semakin menakutkan. Sebagian dari mereka itu (dari kaum muslimin maksudnya) ada yang mulai mencari-cari cara untuk bisa menghindar dari tanggung jawab dan tugas. Digambarkan :
{وَإِذْ قَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ يَا أَهْلَ يَثْرِبَ لَا مُقَامَ لَكُمْ فَارْجِعُوا} [الأحزاب: 13
Sia-sia saja kalian berada di tempat ini. Tidak ada gunanya berjuang, karena buang-buang waktu, buang-buang tenaga, buang-buang potensi. Oleh karena itu “farji’uu”, kita pulang sajalah. Nggak usah dilanjutkan perjuangan ini sampai selesai.
Jangan sampaai kita masuk seperti ini dan juga jangan sampai masuk seperti yang digambarkan:
{وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيقٌ مِنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ } [الأحزاب: 13
Yang mulai cari-cari alasan. “afwan urusan saya ini, apakah pekerjaan saya atau urusan rumah tangga saya, atau urusan karir saya menuntut perhatian khusus. Menuntut ihtimam khaash. Oleh karena itu saya minta izin sekarang untuk pulang dulu”.
Padahal ;
{وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيدُونَ إِلَّا فِرَارًا} [الأحزاب: 13
Jangan sampai kita masuk di situ. Ikhwati fillaah… Allaahu Akbar…
Kenapa? Karena
{وَلَقَدْ كَانُوا عَاهَدُوا اللَّهَ مِنْ قَبْلُ} [الأحزاب: 15
Kita sudah bermu’ahadah dan berbaiat untuk terus berjuang. Dan komitmen kita adalah fil mansyath wal makrah. Mansyath artinya saat situasinya enak, bendahara kasnya juga tebal, citra kita juga bagus. Kita bershilaturahim semuanya menyambut “ahlan wa sahlan”. Bahkan ada yang menyambutnya seperti syaikha madyan. Saat Nabi Musa mengatakan, “innii uriidu an unkiha ihda ibnatai”. Itu kalau lagi mansyath oke. Tapi komitmen kita, mua’ahadah kita adalah fil makrah. Saat suasananya sangat tidak mendukung, saat tidak menyenangkan. Citra lagi terpuruk, kita bolak-balik datang ke bendahara. Kata bendahara, “Maa laisy, in syaa Allaah ghadan”. Jawabannya selalu “maa lays”. Itu makrah. Juga sambutan tidak menyenangkan kalau kita datang. Tapi komitmen kita adalah kita tetap harus bekerja dan berjuang fil mansyath wal makrah. Allaahu Akbar…
Bahkan dalam riwayat sirahnya itu ada tambahan kata-kata lagi. Yang dikita ini ma’mum walaupun tidak disebutkan yaitu wa fii aatsaratin ‘alainaa. Dan termasuk kita tetap harus berjuang meskipun perjuangan itu menuntut dan mengorbankan hak-hak pribadi kita, hak-hak personal kita. Oleh karena itu jita tetap lanjutkan komitmen ini. Dan jangan sampai masuk kategori yang disinggung oleh Allah SWT dengan istilah ;
وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيقٌ مِنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُولُونَ إِنَّ بُيُوتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيدُونَ إِلَّا فِرَارًا} [الأحزاب: 13
Ikhwati fillah
Juga jangan sampai dalam keadaan dan situasi yang seperti sekarang ini. Kita masuk kepada apa yang disinggung Allah SWT dalam surat al ahzab ayat 18. Yang Allah berfirman;
قَدْ
يَعْلَمُ اللَّهُ الْمُعَوِّقِينَ مِنْكُمْ وَالْقَائِلِينَ
لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا وَلَا يَأْتُونَ الْبَأْسَ إِلَّا
قَلِيلًا (18) أَشِحَّةً عَلَيْكُمْ فَإِذَا جَاءَ الْخَوْفُ رَأَيْتَهُمْ
يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ
مِنَ الْمَوْتِ فَإِذَا ذَهَبَ الْخَوْفُ سَلَقُوكُمْ بِأَلْسِنَةٍ حِدَادٍ
أَشِحَّةً عَلَى الْخَيْرِ أُولَئِكَ لَمْ يُؤْمِنُوا فَأَحْبَطَ اللَّهُ
أَعْمَالَهُمْ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (19)} [الأحزاب: 18، 19
Jangan sampai kita termasuk al mu’awwiquun. Almu’awwiquun ini, mohon maaf kalau saya menggunakan istilah jawa. saya merasa terjemahan jawa paling pas mewakili perasaan saya. Almu’awwiquun itu artinya tukang cerimpungi. Mu’awwiquun itu menggambarkan bahwa dalam suasana seperti ahzab itu masih banyak yang bekerja, terus bekerja. Dan bekerja itu pasti menggerakkan kakinya. Ada orang yang tidak bekerja dalam arti berbuat tapi kerjanya adalah nyerimpung. Nyerimpung itu dua kaki, memasukkan kakinya diantara dua kaki. Sehingga saat berjalan, yang bekerja jatuh. Itu namanya nyerimpung, bahasa indonesianya saya tidak tahu. Allaahu Akbar…
Ikhwati-akhwati fillah,
Dalam suasana seperti sekarang ini begitu. Mungkin muncul sifat-sifat seperti itu, -na’udzubillahi min dzaalik-. Saat kita mendorong para kader ikhwan-akhwat bekerja, muncul orang-orang yang kerjanya menyerimpungi yang bekerja itu. Supaya yang bekerja itu jatuh, Laa haula wa laa quwwata illaa billaah. Jadi jangan sampai kita masuk ke dalam itu. Dan Allah mengancam mereka yang mu’awwiquun. Allah SWT berfirman ;
قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الْمُعَوِّقِينَ مِنْكُمْ
Meskipun “qad” disini masuk fi’il mudhari’ tapi maknanya tetap fi’il maadhi.
Sungguh Allah telah mengetahui mereka-mereka yang masuk kategori al-mu’awwiquun. Dan juga masuk kategori :
وَالْقَائِلِينَ لِإِخْوَانِهِمْ هَلُمَّ إِلَيْنَا وَلَا يَأْتُونَ الْبَأْسَ إِلَّا قَلِيلًا
Oleh karena itu ikhwati-akhwati fillah. Justeru ketika kita melihat saudara kita bekerja, kita memberikan support dorongan agar semakin meningkatkan kerjanya. Jangan justeru malah nyerimpungi tadi. Nah, setelah Allah SWT menceritakan tentang perilaku yang tidak tepat ketika menghadapi keadaan seperti al ahzab itu. Lagi-lagi saya mengawali di bagian awal tadi, mengulang. Sikap yang benar adalah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan juga orang-orang beriman.
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (21) وَلَمَّا
رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ
وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا
إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا (22) } [الأحزاب: 21، 22
Saat kaum muslimin mendengar informasi bahwa telah terjadi pembentukan pasukan koalisi untuk menyerang madinah. Jumlah pasukan koalisi itu sendiri, seandainya mereka berhasil memasuki kota madinah, niscaya tidak akan menyisakan apapun di Madinah. Karena sepuluh ribu itu lebih besar dari total seluruh penduduk madinah. Termasuk perempuan dan anak-anak. Bisa dibayangkan begitu mendengar berita seperti ini. Waktunya sangat mendesak dan mepet. Tetapi dengan prinsip “wa man saara ‘alad darbi washal” tadi. Rasulullah kemudian melakukan musyawarah. Dalam musyawarah itu disepakati bahwa cara bertahan yang baik adalah dengan menggali parit di posisi yang kemungkinan besar disitu musuh akan menyerang. Nah, kebetulan secara topografi, madinah itu sebelah barat dan timur itu terdiri dari perbukitan yang tidak mungkin dilalui. Perbukitan yang sangat terjal tidak mungkin dilalui oleh pasukan. Yang disebut dengan istilah alharratan. Harrah itu artinya batu yang tebingnya sangat tinggi, terjal dan sulit dipanjat atau sulit diterjuni. Itu ada dua.
Kemudian di bagian selatan itu adalah kebun-kebun korma yang sangat rapat dan perkampungan orang-orang yahudi. Karena kebun korma sangat rapat banyak pohon, musuh kemungkinan besar tidak masuk lewat situ. Karena mereka akan takut, dibalik setiap pohon itu ada pasukan yang siap menanti mereka. Yang sisanya terbuka adalah bagian utara. Bagian utara terbuka dan disitulah berdasarkan hasil musyawarah akhirnya dibuat parit. Kaum muslimin dibagi-bagi tugas. Setiap sepuluh orang diperintahkan untuk menggali parit sepanjang 40 dziraa’ atau 40 hasta. Waktu musim dingin, waktu itu juga musim paceklik, tidak banyak makanan. Tetapi situasi dan kondisi seperti itu harus terus dihadapi dengan penuh ketabahan, dijalani, mereka tetap menggali dari pagi hingga sore dalam keadaan tidak mendapatkan makanan dan dalam keadaan udara yang sangat dingin. Dan mereka terus menggali sehingga sebelum musih benar-benar tiba. Penggalian parit itu telah benar-benar selesai. Dan karena pertahanan gaya parit itu tidak pernah dikenal oleh orang arab. Dan mereka juga tidak mendapatkan bocoran tentang hal itu. Begitu pasukan datang, mereka dikejutkan adanya parit dan tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah gambaran dari mensikapi situasi dan kondisi. Jalani saja, lakoni saja, kerja terus, tidak pernah berhenti. Insya Allah wa bi idznillaah kalau kita tunjukkan kepada Allah kerja dan semangat kerja seperti ini. Maka Allah akan memberikan pertolongan kepada kita semuanya. Aamiin Ya Rabbal ‘aalamiin. Itu yang bisa saya sampaikan semoga ada manfaatnya.
Aquulu qauli hadzaa was taghfirullaha walakum
Wassalamu’alaikum wr.wb.