Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Rinai hujan mengingatkanku pada derasnya air mata dan lelahnya diri kala bergantian menggendong sulung kami jika ia demam di malam hari, sementara ummi abinya mempelajari diktat kuliah. Begitu kuat rasa optimis kepada Allah ta’ala sehingga kami tak menghiraukan bujukan orang tua untuk melakukan pertunangan dan sejenisnya, bahkan seminggu usai walimatul-ursy yang sederhana, kami langsung berkutat dengan urusan registrasi di kampus masing-masing. Si sulung lahir di tahun berikutnya, ia menjadi anggota tim juang pula, sudah terbiasa masuk ke ruang kuliah atau laboratorium di kampus tempat orang tuanya menimba ilmu.
Namun setapak demi setapak langkah tatkala menuju Afrika, lelah itu terhapus sudah, ketika melihat situasi saudara kita yang mukanya hanya tersenyum bahagia, padahal mobil SUV mewah yang dipunyainya baru dibakar oleh perampok jalanan—3 kali peristiwa itu terjadi, 3 kali dia hanya tersenyum berseri-seri. Air mata, tidak dikeluarkannya untuk harta dunia.
Bahkan dapur dan kasur baru ‘hadir’ di rumahnya setelah puluhan tahun bekerja, “Sudah asyik tidur di tikar biasa…” Ujarnya, jadi ketika membeli batu-batu untuk membangun dapur dan kayu serta kasur itu adalah dikarenakan keluangan waktunya.
Qana’ah sikapnya, teduh wajahnya, saudara ikatan satu ukhuwah memang luar biasa!
Bahkan saudara kita lainnya, pemilik masjid Johannesburgh, alias pemilik ribuan hektar tanah di Afrika Selatan itu, harta kekayaannya melimpah—melebihi harta hasil korupsi para investor dan pemimpin pertiwi, semua aset gedung perkantoran, mall, sekolah di atas tanahnya harus menyewa. Harga sewa dalam hitungan puluhan tahun, dia tidak menjual tanahnya sejengkal pun, meski kepada pemerintah. Tetapi brother ini tak pernah bersikap kasar dan memaki siapa pun, sebagaimana yang kita alami—jika kita berkuasa, punya banyak harta, seolah harga diri manusia bisa kita beli semua, jujur sajalah, duhai nurani?! ;)
Brother itu tidak sedemikian, ia tetap sederhana, bahkan di rumahnya tidak menggunakan televisi. Jumlah jubahnya bisa dihitung dengan jari, sandalnya hanyalah sandal jepit tanpa merek ternama.
Harta kekayaannya ia investasikan untuk membangun banyak sekolah di penjuru negeri, rumah-rumah yatim, dan perjuangan kaum muslimin.
Begitu pula saat kami melewati perkebunan di wilayah Prancis, Belgia, dan Jerman, se-terpencil-terpencilnya wilayah di muka bumi, pastilah ada orang muslim yang menghuninya. Pastilah ada makhluk-Nya yang mengagungkan nama Allah SWT. Maka pasti ada hati yang terpanggil untuk menjaga konsumsi makanan halal, begitulah penjagaan Allah ta’ala pada diri orang mukmin.
Ada seorang brother yang merantau jauh dari negeri asalnya, ia cerdas dan sederhana, tahukah kalian apa pekerjaannya? Ia menyembelihkan daging ternak untuk supply muslimin di negeri minoritas ini. Prancis, Belgia, Italia, Jerman, dan sekitarnya tak melulu mengimpor daging dari Turkey. Peternakan memerlukan penyembelih daging halal, ini pekerjaan mulia, muslimin sangat berjasa pada brother ini.
Saya sangat menghargainya, apalagi para pemimpin Islamic Center yang mengenalnya, termasuk para Syekh turut mengundang brother tersebut untuk berperjalanan menuju Baitullah, dengan mencukupkan perbekalannya. Subhanallah!
Saudara-saudariku yang dicintai Allah, jangan khawatirkan rezekimu dan keluarga, karena Allah ta’ala senantiasa melimpahkan kecukupan bagi setiap hamba-Nya. Saat ini, sebagian besar dari kita ‘latah’ dengan ragam jenis usaha serta penawaran, dari perusahaan mana pun juga, termasuk badan usaha asing. Semua berlomba menawarkan bonus berlipat ganda, meyakinkan para pegiat usahanya untuk ‘terjamin’ sampai ke tujuh turunan dan seterusnya, mobil dan tiket travelling dijadikan tanda kesuksesan.
Tak hanya itu, tanpa disadari, ukhuwah dan persahabatan yang terjalin memiliki filter yang lebih eksklusif, ketika saudara lainnya tidak mengikuti bisnis yang sama, maka hadir jarak yang kian renggang, ditambah frekuensi pertemuan kian berkurang, semakin asinglah kehadiran sosok sahabat lama. Para suami kehilangan masakan spesial dan pijatan mesra dari istri-istri yang ‘latah’ berbisnis duniawi. Para anak dan pelajar pun harus rela didampingi para ibu yang hanya ‘raganya’ di sisi, hatinya condong pada gelimang rupiah sehingga jemarinya sibuk ‘otak-atik’ segala jenis alat komunikasi. Para ibu yang beralasan, “Ini demi masa depan gemilang… supaya terus-menerus ada tabungan…dll” Meski faktanya adalah sungguh pengorbanan besar atas dana pengeluaran rumah tangga sendiri, kebersamaan dan kemesraan bersama keluarga.
Ibu shalihat dari seorang sisterku di Jawa Tengah adalah single-parent yang suaminya meninggal saat usia beliau masih 20 tahun. Si ibu memang bukanlah wanita modern, bukan seperti wanita-wanita modis dengan budaya ‘high-impression’ sebagaimana kebanyakan wanita di kota-kota besar. Namun dengan ketegaran dan kepercayaan penuh kepada Allahu rabbal ‘alamiin, si ibu tak tergoda pada kehidupan ‘glamour’ yang ditawarkan oleh orang-orang (terutama pria yang berkeinginan menikahinya). Si ibu tidak latah dan tak ingin terbawa efek negatif arus modernisasi. Subhanallah, ia bekerja tulus sebagai seorang pengasuh balita, dan anak-anak justru mengagumi ibunya.
Air mata mereka yang tumpah setiap harinya, tak perlu kita tanyakan. Anak-anak yatim dan si ibu ini tetap teguh berjalan dalam aturan-Nya, meski harus pindah balik kampung saat diusir oleh saudara dari suaminya. Segala kenangan di masa pertumbuhan anak-anaknya adalah hikmah baginya, cibiran dan cemoohan orang yang dahulu tanpa sebab berubah menjadi penyesalan. Sang ibu sekarang asyik menikmati masa indah bersama anak-cucu, semua anaknya berhasil menjadi sarjana di universitas terkemuka dan memiliki usaha-usaha yang mandiri. Sedangkan para pencibir dan pencemoohnya justru tertekan dan selalu hidup dalam kesempitan, bagaikan berada di posisi terbalik, dalam perputaran roda dunia. Na’udzubillah…
Sebagian besar kita amat takut dengan kondisi inflasi yang kian melangit. Harga-harga kebutuhan pokok meningkat terus-menerus, apalagi proses tumbuh-kembang anak-anak memerlukan nutrisi yang tepat. Kebutuhan semakin banyak, maka ‘setting’ di alam pikiran mengatakan, “harus tambah banyak mengumpulkan uang…” Sehingga tambah banyak ‘yang latah’, berebut ikut perkumpulan bisnis dan investasi ini dan itu. Inilah keadaan yang menggambarkan begitu khawatirnya kalau duit habis, tanpa disadari kita terjerumus jebakan ‘berhedon-mengutamakan kesenangan dunia’. Tanpa disadari kita melangkah dengan ‘illah-illah’ lainnya, bukankah segala sesuatunya harus diniatkan- lillahi’ta’la? Tanpa sadar kita terperosok pada ‘kecintaan tinggi pada dunia’, Na’udzubillah minzaliik.
…Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214)
Bahkan di beberapa lokasi, disertai keindahan menu tontonan tersaji di layar televisi, ada banyak acara yang menjual air mata, menukar tampilan kesusahan dan skenario musibah yang dialami demi keuntungan bisnis pula. Apalagi, antara yang haq dan yang bathil dicampur-adukkan. Sungguh para sekuler kian tertawa dengan keberhasilan mereka atas fenomena ini. Jika kita bersedekah, niat ikhlas, kenapa harus ‘memiliki syarat’ dengan menyuruh penerima sedekah melakukan perbuatan aneh-aneh di hadapan publik. Makna perjuangan disalahartikan. Pemilik acara meraup keuntungan yang jauh lebih besar dari pada ‘acara sedekahnya’.
Demikian pula contoh lainnya saat sebagian besar kita ‘latah’ ikut mengkhawatirkan kekurangan rezeki, pernikahan ditunda demi mengumpulkan dana resepsi yang ‘wah’, bantuan donasi dan infaq sedekah pun dipilih sesuai keuntungan golongan bisnis yang digeluti, bukan lagi ‘lillahi ta’ala, melainkan demi hal-hal yang lain. Astaghfirullah, juga proses status pegawai negeri sipil, yang tak henti-hentinya dibelit kebusukan strategi kolusi, saling sikut dalam tingkat rasa takut dan kecurigaan yang tinggi, seolah ‘tidak bisa hidup kalau tidak berstatus pegawai negeri’, padahal hamba-Nya yang jujur pasti merasakan keberkahan luar biasa jika pekerjaan tulusnya dibayar dengan upah memuaskan dengan tanpa mencekik rakyat jelata. Harus disadari oleh semua pihak, menjadi pegawai negara berarti digaji oleh rakyat, harus mengutamakan kepentingan rakyat, bukan malah menginjak-injak rakyat dan harga diri bangsa.
Ah, gara-gara mengkhawatirkan rezeki, tak sedikit wanita yang menggugurkan kandungannya, termasuk dua orang ibu yang pernah kukenal. Sungguh amat berbeda dengan banyak srikandi hebat yang tengah merantau di luar negeri, selain harus lincah berkoordinasi dengan suami apalagi saat suami berdinas di tempat lain, memiliki anak-anak yang lebih dari empat orang, masih sempat pula membantu banyak teman lainnya di berbagai kondisi. Subhanallah! Inilah perbedaan nyata antara sosok yang teguh dan beriman kepada Allah ta’ala, dengan sosok yang malas menggali ilmu-Nya, seperti si fulanah membuka hijabnya demi memperoleh pekerjaan di acara konser-konser dan pentas seni sesuai keinginannya, duit dan popularitas adalah incarannya.
Alhamdulillah, masih banyak saudara-saudariku yang saling membisikkan nasihat, “Apabila manusia tidak menjawab perintah Allah ta’ala dan seruan Nabi SAW, Apabila manusia lebih mementingkan urusan lain daripada bekerja di jalan Allah SWT, maka Allah akan letakkan penghalang atau hijab pada hati-hati mereka. (QS. 8: 24-25).” yang terkait pula dengan peringatan bagi diri kita, jika banyak bermaksiat, kian susah untuk menyerap ilmu-Nya.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan (amal terbaik adalah yang ikhlas lillahi ta’ala tanpa kesyirikan), dan sumber utama dari segala tanya dalam problema semesta adalah al-Quran dan al-Hadits.
Warisan abadi kepada anak-cucu sepanjang zaman adalah al-Quran dan al-Hadits, inilah harta paling berharga bagi orang-orang yang berakal. Semoga Allah tetapkan kita istiqamah di atas jalan-Nya, amin. (Masya Allah ….sebagian catatan dari kelas tadabur Ust. Khairul Azli).
Setiap profesi kita, aktivitas kita, teman-teman dan atribut yang menempel pada diri kita adalah bagian dari limpahan nikmat-Nya, hargailah dengan mensyukurinya. Menghina dan melecehkan saudara berarti telah menunjukkan keburukan hati diri sendiri, ingatlah, kita memerlukan banyak saudara yang selalu saling mendoa, apalagi jika nanti kita menjadi sosok jenazah nan terbujur kaku, hari nan pasti datang.
Apapun aktivitas saat ini serta lincahnya raga, mata, telinga, lidah, hidung, dll jika kita pergunakan bukan karena Allah SWT semata, sungguh sia-sia, *ngeri* membayangkan ketika tangan dan kaki bicara kelak di hari pertanggungjawaban.
Na’udzubillah!
‘Yoook, berbenah… jangan hidup dengan “apa kata orang, bagusnya gimana kata orang?!”
Semua manusia akan jadi jenazah, fana!
Mari kita hidup dengan, “Apa yang terbaik sesuai aturan Allah SWT? Apa Allah suka, apakah Allah ridha?” Hanya Allah ta’ala yang abadi, Tuhan semesta alam.
*if Allah is all you have, you have all you need!*
Semoga kita pandai memetik hikmah-Nya, titip doa agar qalbu ini senantiasa berada dalam kepatuhan pada-Nya, Barakallah! Wallahu a’lam bisshawab.
Namun setapak demi setapak langkah tatkala menuju Afrika, lelah itu terhapus sudah, ketika melihat situasi saudara kita yang mukanya hanya tersenyum bahagia, padahal mobil SUV mewah yang dipunyainya baru dibakar oleh perampok jalanan—3 kali peristiwa itu terjadi, 3 kali dia hanya tersenyum berseri-seri. Air mata, tidak dikeluarkannya untuk harta dunia.
Bahkan dapur dan kasur baru ‘hadir’ di rumahnya setelah puluhan tahun bekerja, “Sudah asyik tidur di tikar biasa…” Ujarnya, jadi ketika membeli batu-batu untuk membangun dapur dan kayu serta kasur itu adalah dikarenakan keluangan waktunya.
Qana’ah sikapnya, teduh wajahnya, saudara ikatan satu ukhuwah memang luar biasa!
Bahkan saudara kita lainnya, pemilik masjid Johannesburgh, alias pemilik ribuan hektar tanah di Afrika Selatan itu, harta kekayaannya melimpah—melebihi harta hasil korupsi para investor dan pemimpin pertiwi, semua aset gedung perkantoran, mall, sekolah di atas tanahnya harus menyewa. Harga sewa dalam hitungan puluhan tahun, dia tidak menjual tanahnya sejengkal pun, meski kepada pemerintah. Tetapi brother ini tak pernah bersikap kasar dan memaki siapa pun, sebagaimana yang kita alami—jika kita berkuasa, punya banyak harta, seolah harga diri manusia bisa kita beli semua, jujur sajalah, duhai nurani?! ;)
Brother itu tidak sedemikian, ia tetap sederhana, bahkan di rumahnya tidak menggunakan televisi. Jumlah jubahnya bisa dihitung dengan jari, sandalnya hanyalah sandal jepit tanpa merek ternama.
Harta kekayaannya ia investasikan untuk membangun banyak sekolah di penjuru negeri, rumah-rumah yatim, dan perjuangan kaum muslimin.
Begitu pula saat kami melewati perkebunan di wilayah Prancis, Belgia, dan Jerman, se-terpencil-terpencilnya wilayah di muka bumi, pastilah ada orang muslim yang menghuninya. Pastilah ada makhluk-Nya yang mengagungkan nama Allah SWT. Maka pasti ada hati yang terpanggil untuk menjaga konsumsi makanan halal, begitulah penjagaan Allah ta’ala pada diri orang mukmin.
Ada seorang brother yang merantau jauh dari negeri asalnya, ia cerdas dan sederhana, tahukah kalian apa pekerjaannya? Ia menyembelihkan daging ternak untuk supply muslimin di negeri minoritas ini. Prancis, Belgia, Italia, Jerman, dan sekitarnya tak melulu mengimpor daging dari Turkey. Peternakan memerlukan penyembelih daging halal, ini pekerjaan mulia, muslimin sangat berjasa pada brother ini.
Saya sangat menghargainya, apalagi para pemimpin Islamic Center yang mengenalnya, termasuk para Syekh turut mengundang brother tersebut untuk berperjalanan menuju Baitullah, dengan mencukupkan perbekalannya. Subhanallah!
Saudara-saudariku yang dicintai Allah, jangan khawatirkan rezekimu dan keluarga, karena Allah ta’ala senantiasa melimpahkan kecukupan bagi setiap hamba-Nya. Saat ini, sebagian besar dari kita ‘latah’ dengan ragam jenis usaha serta penawaran, dari perusahaan mana pun juga, termasuk badan usaha asing. Semua berlomba menawarkan bonus berlipat ganda, meyakinkan para pegiat usahanya untuk ‘terjamin’ sampai ke tujuh turunan dan seterusnya, mobil dan tiket travelling dijadikan tanda kesuksesan.
Tak hanya itu, tanpa disadari, ukhuwah dan persahabatan yang terjalin memiliki filter yang lebih eksklusif, ketika saudara lainnya tidak mengikuti bisnis yang sama, maka hadir jarak yang kian renggang, ditambah frekuensi pertemuan kian berkurang, semakin asinglah kehadiran sosok sahabat lama. Para suami kehilangan masakan spesial dan pijatan mesra dari istri-istri yang ‘latah’ berbisnis duniawi. Para anak dan pelajar pun harus rela didampingi para ibu yang hanya ‘raganya’ di sisi, hatinya condong pada gelimang rupiah sehingga jemarinya sibuk ‘otak-atik’ segala jenis alat komunikasi. Para ibu yang beralasan, “Ini demi masa depan gemilang… supaya terus-menerus ada tabungan…dll” Meski faktanya adalah sungguh pengorbanan besar atas dana pengeluaran rumah tangga sendiri, kebersamaan dan kemesraan bersama keluarga.
Ibu shalihat dari seorang sisterku di Jawa Tengah adalah single-parent yang suaminya meninggal saat usia beliau masih 20 tahun. Si ibu memang bukanlah wanita modern, bukan seperti wanita-wanita modis dengan budaya ‘high-impression’ sebagaimana kebanyakan wanita di kota-kota besar. Namun dengan ketegaran dan kepercayaan penuh kepada Allahu rabbal ‘alamiin, si ibu tak tergoda pada kehidupan ‘glamour’ yang ditawarkan oleh orang-orang (terutama pria yang berkeinginan menikahinya). Si ibu tidak latah dan tak ingin terbawa efek negatif arus modernisasi. Subhanallah, ia bekerja tulus sebagai seorang pengasuh balita, dan anak-anak justru mengagumi ibunya.
Air mata mereka yang tumpah setiap harinya, tak perlu kita tanyakan. Anak-anak yatim dan si ibu ini tetap teguh berjalan dalam aturan-Nya, meski harus pindah balik kampung saat diusir oleh saudara dari suaminya. Segala kenangan di masa pertumbuhan anak-anaknya adalah hikmah baginya, cibiran dan cemoohan orang yang dahulu tanpa sebab berubah menjadi penyesalan. Sang ibu sekarang asyik menikmati masa indah bersama anak-cucu, semua anaknya berhasil menjadi sarjana di universitas terkemuka dan memiliki usaha-usaha yang mandiri. Sedangkan para pencibir dan pencemoohnya justru tertekan dan selalu hidup dalam kesempitan, bagaikan berada di posisi terbalik, dalam perputaran roda dunia. Na’udzubillah…
Sebagian besar kita amat takut dengan kondisi inflasi yang kian melangit. Harga-harga kebutuhan pokok meningkat terus-menerus, apalagi proses tumbuh-kembang anak-anak memerlukan nutrisi yang tepat. Kebutuhan semakin banyak, maka ‘setting’ di alam pikiran mengatakan, “harus tambah banyak mengumpulkan uang…” Sehingga tambah banyak ‘yang latah’, berebut ikut perkumpulan bisnis dan investasi ini dan itu. Inilah keadaan yang menggambarkan begitu khawatirnya kalau duit habis, tanpa disadari kita terjerumus jebakan ‘berhedon-mengutamakan kesenangan dunia’. Tanpa disadari kita melangkah dengan ‘illah-illah’ lainnya, bukankah segala sesuatunya harus diniatkan- lillahi’ta’la? Tanpa sadar kita terperosok pada ‘kecintaan tinggi pada dunia’, Na’udzubillah minzaliik.
…Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah: 214)
Bahkan di beberapa lokasi, disertai keindahan menu tontonan tersaji di layar televisi, ada banyak acara yang menjual air mata, menukar tampilan kesusahan dan skenario musibah yang dialami demi keuntungan bisnis pula. Apalagi, antara yang haq dan yang bathil dicampur-adukkan. Sungguh para sekuler kian tertawa dengan keberhasilan mereka atas fenomena ini. Jika kita bersedekah, niat ikhlas, kenapa harus ‘memiliki syarat’ dengan menyuruh penerima sedekah melakukan perbuatan aneh-aneh di hadapan publik. Makna perjuangan disalahartikan. Pemilik acara meraup keuntungan yang jauh lebih besar dari pada ‘acara sedekahnya’.
Demikian pula contoh lainnya saat sebagian besar kita ‘latah’ ikut mengkhawatirkan kekurangan rezeki, pernikahan ditunda demi mengumpulkan dana resepsi yang ‘wah’, bantuan donasi dan infaq sedekah pun dipilih sesuai keuntungan golongan bisnis yang digeluti, bukan lagi ‘lillahi ta’ala, melainkan demi hal-hal yang lain. Astaghfirullah, juga proses status pegawai negeri sipil, yang tak henti-hentinya dibelit kebusukan strategi kolusi, saling sikut dalam tingkat rasa takut dan kecurigaan yang tinggi, seolah ‘tidak bisa hidup kalau tidak berstatus pegawai negeri’, padahal hamba-Nya yang jujur pasti merasakan keberkahan luar biasa jika pekerjaan tulusnya dibayar dengan upah memuaskan dengan tanpa mencekik rakyat jelata. Harus disadari oleh semua pihak, menjadi pegawai negara berarti digaji oleh rakyat, harus mengutamakan kepentingan rakyat, bukan malah menginjak-injak rakyat dan harga diri bangsa.
Ah, gara-gara mengkhawatirkan rezeki, tak sedikit wanita yang menggugurkan kandungannya, termasuk dua orang ibu yang pernah kukenal. Sungguh amat berbeda dengan banyak srikandi hebat yang tengah merantau di luar negeri, selain harus lincah berkoordinasi dengan suami apalagi saat suami berdinas di tempat lain, memiliki anak-anak yang lebih dari empat orang, masih sempat pula membantu banyak teman lainnya di berbagai kondisi. Subhanallah! Inilah perbedaan nyata antara sosok yang teguh dan beriman kepada Allah ta’ala, dengan sosok yang malas menggali ilmu-Nya, seperti si fulanah membuka hijabnya demi memperoleh pekerjaan di acara konser-konser dan pentas seni sesuai keinginannya, duit dan popularitas adalah incarannya.
Alhamdulillah, masih banyak saudara-saudariku yang saling membisikkan nasihat, “Apabila manusia tidak menjawab perintah Allah ta’ala dan seruan Nabi SAW, Apabila manusia lebih mementingkan urusan lain daripada bekerja di jalan Allah SWT, maka Allah akan letakkan penghalang atau hijab pada hati-hati mereka. (QS. 8: 24-25).” yang terkait pula dengan peringatan bagi diri kita, jika banyak bermaksiat, kian susah untuk menyerap ilmu-Nya.
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan (amal terbaik adalah yang ikhlas lillahi ta’ala tanpa kesyirikan), dan sumber utama dari segala tanya dalam problema semesta adalah al-Quran dan al-Hadits.
Warisan abadi kepada anak-cucu sepanjang zaman adalah al-Quran dan al-Hadits, inilah harta paling berharga bagi orang-orang yang berakal. Semoga Allah tetapkan kita istiqamah di atas jalan-Nya, amin. (Masya Allah ….sebagian catatan dari kelas tadabur Ust. Khairul Azli).
Setiap profesi kita, aktivitas kita, teman-teman dan atribut yang menempel pada diri kita adalah bagian dari limpahan nikmat-Nya, hargailah dengan mensyukurinya. Menghina dan melecehkan saudara berarti telah menunjukkan keburukan hati diri sendiri, ingatlah, kita memerlukan banyak saudara yang selalu saling mendoa, apalagi jika nanti kita menjadi sosok jenazah nan terbujur kaku, hari nan pasti datang.
Apapun aktivitas saat ini serta lincahnya raga, mata, telinga, lidah, hidung, dll jika kita pergunakan bukan karena Allah SWT semata, sungguh sia-sia, *ngeri* membayangkan ketika tangan dan kaki bicara kelak di hari pertanggungjawaban.
Na’udzubillah!
‘Yoook, berbenah… jangan hidup dengan “apa kata orang, bagusnya gimana kata orang?!”
Semua manusia akan jadi jenazah, fana!
Mari kita hidup dengan, “Apa yang terbaik sesuai aturan Allah SWT? Apa Allah suka, apakah Allah ridha?” Hanya Allah ta’ala yang abadi, Tuhan semesta alam.
*if Allah is all you have, you have all you need!*
Semoga kita pandai memetik hikmah-Nya, titip doa agar qalbu ini senantiasa berada dalam kepatuhan pada-Nya, Barakallah! Wallahu a’lam bisshawab.