Oleh: Abu Maryam
Para da’i banyak yang merasa kecewa ketika tengah berdakwah, dikarenakan mereka telah merasa optimal memberikan penyampaian, namun tetap saja tidak mendapatkan respon yang positif dari mad’u. Perasaan kecewa ini muncul karena ketidakcermatan da’i dalam memperhatikan satu komponen penting dalam berdakwah, yaitu terkait proses kontemplasi yang dilakukan mad’u, dan itu membutuhkan waktu yang cukup.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam hal ini, adalah:
Pertama, sadari kita beda ‘dunia.’ Kita harus menyadari bahwa ‘dunia’ tempat berinteraksinya kita dengan mad’u terkadang berbeda, tepatnya tidak berada dalam lingkaran hidup yang Islami. Namun telah bercampur-baur dan terpengaruhi oleh nilai-nilai duniawi, umumnya mereka tumbuh di tengah efek dari materialistis, masyarakat yang ‘sakit’ atau bahkan atheis. Dan karakter seperti ini sudah menyebar banyak di tengah masyarakat, dan para da’i akhirnya berinteraksi dengan sosok yang cara berfikirnya serta kepribadiannya bertolak-belakang dengan mad’u-nya. Sehingga ketidak pahaman kerap menjadi penghalang dalam interaksi seorang da’i dengan obyek dakwahnya.
Karena itu butuh waktu yang panjang untuk mendakwahi mad’u yang seperti ini. Melakukan pendekatan, beradaptasi dengan dunia mereka, sehingga seakan tak ada lagi pembatas dan mad’u pun siap menerima dengan baik perkataan sang da’i.
Kedua, tak ada perkataan yang sia-sia. setiap kata yang terucap dari seorang da’i pada hakekatnya tidaklah pernah sia-sia, melainkan akan terus terngiang dalam fikiran mad’u. Apa yang ia dengar itu sedikit banyak akan merubahnya menjadi pribadi yang lebih baik. Apa yang ditaushiyahkan oleh seorang da’i kepada mad’u-nya saat ini, akan menjadi investasi amal bagi dirinya di beberapa tahun kedepan. Seperti yang sering kita temukan, ketika berjumpa dan memberi pesan kebaikan kepada seseorang, ia terkadang mengatakan, “sepertinya saya pernah mendengar taushiyah seperti yang Anda sampaikan tadi.”
Ketiga, cerdas memilih waktu. Memilih waktu yang tepat dalam berdakwah merupakan hal yang sangat penting. Karena setiap orang memiliki waktu privasi, dan dalam kondisi seperti itu ia tidak ingin diganggu, dan tidak siap menerima arahan.
Maka dari itu, berdakwah sangat dipengaruhi dengan kondisi kedua belah pihak, baik da’i mau pun mad’u-nya, keduanya harus berada dalam kondisi yang siap, siap memberi dan menerima. Terutama bagi sang da’i, hendaknya memilih waktu yang tepat, sehingga mad’unya tidak merasa terbebani dan dapat menerima pesan kebaikan itu dengan hati lapang.
Keempat, tidak bertele-tele. Seorang da’i hendaknya tidak ‘berlama-lama’ dalam berbicara dihadapan mad’u, karena hal itu akan membuatnya jenuh dan bosan. Namun sebaliknya, dengan menyampaikan pembicaraan yang singkat padat dan berbobot, tentunya akan membuat para mad’u ketagihan, dan semangat untuk mengikutinya karena ingin mendapatkan yang lebih banyak lagi.
Kelima, jangan tergesa-gesa. Terburu-buru dalam mendakwahi mad’u tentunya tidak akan memberikan hasil yang maksimal. Karena hal itu justru akan menghadirkan sebuah masalah, bisa jadi mad’u itu menolak, atau menerima tapi tanpa pemahaman. Kedua hal ini seyogyanya diwanti-wanti sebelum terjadi.
Efek dari ketergesa-gesaan dalam berdakwah ini diantaranya adalah mad’u yang menjadi terburu-buru dalam mengambil keputusan, akibatnya ia menolak ajakan sang da’i. Waktu yang singkat memposisikannya tidak secara utuh memahami dakwah itu disampaikan kepada dirinya. Dampak buruknya, ia tidak akan berhubungan lagi dengan dakwah, dan bukan perkara mudah untuk merubah keputusan seseorang. Hal ini terjadi dikarenakan da’i terlalu terburu-buru dalam berdakwah, ibarat memetik buah tapi belum pada waktunya.
Sedangkan bagi mad’u yang terburu-terburu dalam merespon ajakan dakwah, kedepannya mad’u akan terkaget-kaget karena dihadapkan dengan adanya taklif dan kewajiban yang belum pernah ia perkirakan sebelumnya. Sehingga ia merasa ada perang batin dalam jiwanya. Dan bisa berimbas hal negatif terhadap kepribadiannya, berbohong atau bahkan nifak. Seandainya dihadapnnya terdapat peluang untuk kembali memilih, bisa jadi mad’u tersebut tidak memilih untuk bergabung dalam dakwah.
Oleh karena itu, yang selayaknya dilakukan seorang da’i adalah tidak memaksa mad’u-nya terburu-buru dalam mengeluarkan keputusan, namun meminta kepada mad’u untuk berpikir secara perlahan sehingga keputusan yang diambil berdasarkan kemantapan yang lahir dari dalam dirinya. Wallahu al Musta’an
Disarikan dari kitab “Qawaidu ad-da’wah ila Allah” karya Dr. Hamam Abdurrahim Sa’id, cetakan Dârul wafâ’, Manshurah, Mesir.
Para da’i banyak yang merasa kecewa ketika tengah berdakwah, dikarenakan mereka telah merasa optimal memberikan penyampaian, namun tetap saja tidak mendapatkan respon yang positif dari mad’u. Perasaan kecewa ini muncul karena ketidakcermatan da’i dalam memperhatikan satu komponen penting dalam berdakwah, yaitu terkait proses kontemplasi yang dilakukan mad’u, dan itu membutuhkan waktu yang cukup.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam hal ini, adalah:
Pertama, sadari kita beda ‘dunia.’ Kita harus menyadari bahwa ‘dunia’ tempat berinteraksinya kita dengan mad’u terkadang berbeda, tepatnya tidak berada dalam lingkaran hidup yang Islami. Namun telah bercampur-baur dan terpengaruhi oleh nilai-nilai duniawi, umumnya mereka tumbuh di tengah efek dari materialistis, masyarakat yang ‘sakit’ atau bahkan atheis. Dan karakter seperti ini sudah menyebar banyak di tengah masyarakat, dan para da’i akhirnya berinteraksi dengan sosok yang cara berfikirnya serta kepribadiannya bertolak-belakang dengan mad’u-nya. Sehingga ketidak pahaman kerap menjadi penghalang dalam interaksi seorang da’i dengan obyek dakwahnya.
Karena itu butuh waktu yang panjang untuk mendakwahi mad’u yang seperti ini. Melakukan pendekatan, beradaptasi dengan dunia mereka, sehingga seakan tak ada lagi pembatas dan mad’u pun siap menerima dengan baik perkataan sang da’i.
Kedua, tak ada perkataan yang sia-sia. setiap kata yang terucap dari seorang da’i pada hakekatnya tidaklah pernah sia-sia, melainkan akan terus terngiang dalam fikiran mad’u. Apa yang ia dengar itu sedikit banyak akan merubahnya menjadi pribadi yang lebih baik. Apa yang ditaushiyahkan oleh seorang da’i kepada mad’u-nya saat ini, akan menjadi investasi amal bagi dirinya di beberapa tahun kedepan. Seperti yang sering kita temukan, ketika berjumpa dan memberi pesan kebaikan kepada seseorang, ia terkadang mengatakan, “sepertinya saya pernah mendengar taushiyah seperti yang Anda sampaikan tadi.”
Ketiga, cerdas memilih waktu. Memilih waktu yang tepat dalam berdakwah merupakan hal yang sangat penting. Karena setiap orang memiliki waktu privasi, dan dalam kondisi seperti itu ia tidak ingin diganggu, dan tidak siap menerima arahan.
Maka dari itu, berdakwah sangat dipengaruhi dengan kondisi kedua belah pihak, baik da’i mau pun mad’u-nya, keduanya harus berada dalam kondisi yang siap, siap memberi dan menerima. Terutama bagi sang da’i, hendaknya memilih waktu yang tepat, sehingga mad’unya tidak merasa terbebani dan dapat menerima pesan kebaikan itu dengan hati lapang.
Keempat, tidak bertele-tele. Seorang da’i hendaknya tidak ‘berlama-lama’ dalam berbicara dihadapan mad’u, karena hal itu akan membuatnya jenuh dan bosan. Namun sebaliknya, dengan menyampaikan pembicaraan yang singkat padat dan berbobot, tentunya akan membuat para mad’u ketagihan, dan semangat untuk mengikutinya karena ingin mendapatkan yang lebih banyak lagi.
Kelima, jangan tergesa-gesa. Terburu-buru dalam mendakwahi mad’u tentunya tidak akan memberikan hasil yang maksimal. Karena hal itu justru akan menghadirkan sebuah masalah, bisa jadi mad’u itu menolak, atau menerima tapi tanpa pemahaman. Kedua hal ini seyogyanya diwanti-wanti sebelum terjadi.
Efek dari ketergesa-gesaan dalam berdakwah ini diantaranya adalah mad’u yang menjadi terburu-buru dalam mengambil keputusan, akibatnya ia menolak ajakan sang da’i. Waktu yang singkat memposisikannya tidak secara utuh memahami dakwah itu disampaikan kepada dirinya. Dampak buruknya, ia tidak akan berhubungan lagi dengan dakwah, dan bukan perkara mudah untuk merubah keputusan seseorang. Hal ini terjadi dikarenakan da’i terlalu terburu-buru dalam berdakwah, ibarat memetik buah tapi belum pada waktunya.
Sedangkan bagi mad’u yang terburu-terburu dalam merespon ajakan dakwah, kedepannya mad’u akan terkaget-kaget karena dihadapkan dengan adanya taklif dan kewajiban yang belum pernah ia perkirakan sebelumnya. Sehingga ia merasa ada perang batin dalam jiwanya. Dan bisa berimbas hal negatif terhadap kepribadiannya, berbohong atau bahkan nifak. Seandainya dihadapnnya terdapat peluang untuk kembali memilih, bisa jadi mad’u tersebut tidak memilih untuk bergabung dalam dakwah.
Oleh karena itu, yang selayaknya dilakukan seorang da’i adalah tidak memaksa mad’u-nya terburu-buru dalam mengeluarkan keputusan, namun meminta kepada mad’u untuk berpikir secara perlahan sehingga keputusan yang diambil berdasarkan kemantapan yang lahir dari dalam dirinya. Wallahu al Musta’an
Disarikan dari kitab “Qawaidu ad-da’wah ila Allah” karya Dr. Hamam Abdurrahim Sa’id, cetakan Dârul wafâ’, Manshurah, Mesir.
sumber : http://www.al-intima.com