Oleh: Farid Nu’man Hasan
Bulan Rajab dan Keutamaannya
Bulan Rajab adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah Ta’ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan
haram). Maksudnya, saat itu manusia dilarang (diharamkan) untuk
berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak.[1]
Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram
…” (QS. Al Maidah (95): 2)
Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan-bulan haram,
yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) adalah Dzul qa’dah, Dzul hijjah, Rajab, dan Muharam. (Sunan At Tirmidzi No. 1512)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga
yang awal adalah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharam. Sedangkan Rajab
yang penuh kemuliaan antara dua jumadil dan sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025)
Dinamakan Rajab karena itu adalah bulan untuk yarjubu, yakni Ya’zhumu (mengagungkan), sebagaimana dikatakan Al Ashmu’i, Al Mufadhdhal, dan Al Farra’. (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif, Hal. 117. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Banyak manusia meyakini bulan Rajab sebagai bulan untuk memperbanyak
ibadah, seperti shalat, puasa, dan menyembelih hewan untuk disedekahkan.
Tetapi, kebiasaan ini nampaknya tidak didukung oleh sumber yang shahih. Para
ulama hadits telah melakukan penelitian mendalam, bahwa tidak satu pun
riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan shalat khusus, puasa, dan
ibadah lainnya pada bulan Rajab, sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi. Benar, bulan
Rajab adalah bulan yang agung dan mulia, tetapi kita tidak mendapatkan
hadits shahih tentang rincian amalan khusus pada bulan Rajab. Wallahu
A’lam
Sebagai contoh:
“Sesungguhnya di surga ada sungai bernama Rajab, airnya lebih
putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa yang
berpuasa Rajab satu hari saja, maka Allah akan memberikannya minum dari
sungai itu.” (Status hadits: BATIL. Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 1898)
“Ada lima malam yang doa tidak akan ditolak: awal malam pada bulan
Rajab, malam nishfu Sya’ban, malam Jumat, malam Idul Fitri, dan malam
hari raya qurban.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). As Silsilah Adh Dhaifah No. 1452)
“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)
“Dinamakan Rajab karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan (yatarajjaba) bagi Sya’ban dan Ramadhan.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). As Silsilah Adh Dhaifah No. 3708)
Dan masih banyak lagi yang lainnya, seperti shalat raghaib (12
rakaat) pada hari kamis ba’da maghrib di bulan Rajab (Ini ada dalam
kitab Ihya Ulumuddin-nya Imam Al Ghazali. Segenap ulama seperti
Imam An Nawawi mengatakan ini adalah bid’ah yang buruk dan munkar, juga
Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Nuhas, dan lainnya mengatakan hal serupa).
Walau demikian, tidak berarti kelemahan semua riwayat ini menunjukkan
larangan ibadah-ibadah secara global. Melakukan puasa, sedekah,
memotong hewan untuk sedekah, dan amal shalih lainnya adalah perbuatan
mulia, kapan pun dilaksanakannya termasuk bulan Rajab (kecuali puasa
pada hari-hari terlarang puasa).
Tidak mengapa puasa pada bulan Rajab, seperti puasa senin kamis dan ayyamul bidh
(tanggal 13,14,15 bulan hijriah), sebab ini semua memiliki perintah
secara umum dalam syariat. Tidak mengapa sekedar memotong hewan untuk
disedekahkan, yang keliru adalah meyakini dan MENGKHUSUSKAN
ibadah-ibadah ini dengan fadhilah tertentu yang hanya bisa diraih di
bulan Rajab, dan tidak pada bulan lainnya. Jika seperti ini, maka
membutuhkan dalil shahih yang khusus, baik Al Quran atau As Sunnah.
Sementara itu, mengkhususkan menyembelih hewan (istilahnya Al ‘Atirah)
pada bulan Rajab, telah terjadi perbedaan pendapat di dalam Islam. Imam
Ibnu Sirin mengatakan itu sunah, dan ini juga pendapat penduduk
Bashrah, juga Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang dikutip oleh
Hambal. Tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa hal itu adalah kebiasaan
jahiliyah yang telah dihapuskan oleh Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits shahih: “Tidak ada Al Fara’ dan Al ‘Atirah.” (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif Hal. 117)
Namun, jika sekedar ingin menyembelih hewan pada bulan Rajab, tanpa
mengkhususkan dengan fadhilah tertentu pada bulan Rajab, tidak mengapa
dilakukan. Karena Imam An Nasa’i meriwayatkan, bahwa para sahabat
berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, dahulu ketika jahiliyah kami biasa menyembelih pada bulan Rajab?” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Menyembelihlah karena Allah, pada bulan apa saja.” (HR. An Nasa’i, hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 1/208)
Benarkah Isra Mi’raj Terjadi Tanggal 27 Rajab?
Ada pun tentang Isra’ Mi’raj, benarkah peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab? Atau tepatnya 27 Rajab? Jawab: Wallahu A’lam.
Sebab, tidak ada kesepakatan para ulama hadits dan para sejarawan
muslim tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada yang menyebutnya Rajab,
dikatakan Rabiul Akhir, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, bahwa banyak ulama yang
melemahkan pendapat bahwa peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab,
sedangkan Ibrahim Al Harbi dan lainnya mengatakan itu terjadi pada
Rabi’ul Awal. (Ibid Hal. 95).
Beliau juga berkata:
“Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi
peristiwa agung dan itu tidak ada yang shahih satu pun. Diriwayatkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan pada awal malam
bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya, ada juga yang mengatakan
pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih. Diriwayatkan pula dengan
sanad yang tidak shahih dari Al Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa
Isra-nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi pada malam ke-27
Rajab, dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya.” (Lathaif Al Ma’arif Hal. 121. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Sementara, Imam Ibnu Hajar mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal itu adalah dusta.” (Tabyinul ‘Ajab hal. 6). Imam
Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa Isra’ Mi’raj tidak diketahui
secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua riwayat tentang ini
terputus dan berbeda-beda.
Adakah Doa Khusus Menyambut Rajab, Sya’ban dan Ramadhan?
Tidak ditemukan riwayat yang shahih tentang ini. Ada pun doa yang tenar diucapkan manusia yakni: Allahumma Bariklana fi rajaba wa sya’ban, wa ballighna ramadhan, adalah hadits dhaif (lemah).
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika masuk bulan Rajab, dia berkata: “Allahumma Barik lanaa fii Rajaba wa Sya’ban wa Barik lanaa fii Ramadhan.” (Ya Allah Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban wa Berkahilah kami di bulan Ramadhan). (HR. Ahmad, No. 2228. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4086, dengan teks agak berbeda yakni, “Wa Balighnaa fii Ramadhan.” Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 3654)
Syaikh Al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Misykah Al Mashabih, No. 1369). [2]
Bulan Sya’ban dan Keutamaannya
Bulan Sya’ban adalah bulan mulia yang disunnahkan bagi kaum muslimin
untuk banyak berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa sehingga
kami mengatakan dia tidak pernah berbuka, dan dia berbuka sampai kami
mengatakan dia tidak pernah puasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyempurnakan puasanya selama satu bulan
kecuali Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat dia berpuasa melebihi
banyaknya puasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1868)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga, katanya:
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah berpuasa dalam satu bulan melebihi puasa pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1869)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Bulan Sya’ban, ada di antara bulan Rajab dan Ramadhan, banyak
manusia yang melalaikannya. Saat itu amal manusia diangkat, maka aku
suka jika amalku diangkat ketika aku sedang puasa.” (HR. An Nasai, 1/322 dalam kitab Al Amali. Status hadits: Hasan (baik). Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1898. Lihat juga Tamamul Minnah Hal. 412. DarAr Rayyah)
Adakah Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban?
Ya, sebagamana diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, bahwa Beliau bersabda:
“Allah Ta’ala menampakkan diriNya kepada hambaNya pada malam
nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang
yang musyrik atau pendengki.” (Hadits ini Shahih menurut
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Diriwayatkan oleh banyak
sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin
Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan
‘Aisyah. Lihat kitab As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga kitab Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al Maktab Al Islami. Namun, dalam kitab Misykah Al Mashabih, justru Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang benar adalah shahih karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan)
Hadits ini menunjukkan keutamaan malam nishfu sya’ban (malam
ke 15 di bulan Sya’ban), yakni saat itu Allah mengampuni semua makhluk
kecuali yang menyekutukanNya dan para pendengki. Maka wajar banyak kaum
muslimin mengadakan ritual khusus pada malam tersebut baik shalat atau
membaca Al Quran, dan ini pernah dilakukan oleh sebagian tabi’in.
Tetapi, dalam hadits ini –juga hadits lainnya- sama sekali tidak disebut
adanya ibadah khusus tersebut pada malam itu, baik shalat, membaca Al
Quran, atau lainnya. Oleh, karena itu, wajar pula sebagian kaum muslimin
menganggap itu adalah hal yang bid’ah (mengada-ngada dalam agama).
Sebenarnya membaca Al Quran, shalat malam, memperbanyak zikir pada malam
nishfu sya’ban adalah perbuatan baik, dan merupakan pengamalan dari
hadits di atas, namun yang menjadi ajang perdebatan adalah tentang
‘cara’nya, apakah beramai-ramai ke masjid lalu di buat paket acara
secara khusus, atau melakukannya secara sendirian baik di rumah atau
masjid dengan acara yang tidak baku dan tidak terikat.
Berikut adalah Fatwa Para ulama tentang acara ritual Nishfu Sya’ban:
Imam An Nawawi (bermadzhab syafi’i)
Beliau Rahimahullah memberikan komentar tentang mengkhususkan shalat pada malam nishfu sya’ban, sebagai berikut:
“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu
shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam
awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub [3] dan Ihya Ulumuddin [4], dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.” Demikian komentar Imam An Nawawi. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/379. Dar ‘Alim Al Kitab)
Syaikh ‘Athiyah Saqr (Mufti Mesir)
Beliau Rahimahullah ditanya apakah ada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadakan acara khusus pada malam nishfu sya’ban?
Beliau menjawab (saya kutip secara ringkas):
“Telah pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau melakukan kegiatan pada bulan Sya’ban yakni berpuasa. Sedangkan qiyamul lail-nya banyak beliau lakukan pada setiap bulan, dan qiyamul lailnya pada malam nisfhu sya’ban sama halnya dengan qiyamul lail pada malam lain. Hal ini didukung oleh hadits-hadits yang telah saya sampaikan sebelumnya, jika hadits tersebut dhaif maka berdalil dengannya boleh untuk tema fadhailul ‘amal (keutamaan amal shalih), dan qiyamul lailnya beliau sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah yang telah saya sebutkan. Aktifitas
yang dilakukannya adalah aktifitas perorangan, bukan berjamaah.
Sedangkan aktifitas yang dilakukan manusia saat ini, tidak pernah ada
pada masa Rasulullah, tidak pernah ada pada masa sahabat, tetapi terjadi
pada masa tabi’in.
Al Qasthalani menceritakan dalam kitabnya Al Mawahib Al Laduniyah (Juz.2, Hal. 259), bahwa tabi’in dari negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan, dan Mak-hul, mereka berijtihad untuk beribadah pada malam nishfu sya’ban. Dari merekalah manusia beralasan untuk memuliakan malam nishfu sya’ban. Diceritakan bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat[5]
tentang hal ini. Ketika hal tersebut tersiarkan, maka manusia pun
berselisih pendapat, maka di antara mereka ada yang mengikutinya. Namun
perbuatan ini diingkari oleh mayoritas ulama di Hijaz seperti Atha’,
Ibnu Abi Malikah, dan dikutip dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam bahwa
fuqaha Madinah juga menolaknya, yakni para sahabat Imam Malik dan selain
mereka, lalu mereka mengatakan: “Semua itu bid’ah!”
Kemudian Al Qasthalani berkata: “Ulama penduduk Syam[6] berbeda pendapat tentang hukum menghidupkan malam nishfu sya’ban menjadi dua pendapat: Pertama,
dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah di masjid.,
Khalid bin Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereka mengenakan
pakain bagus, memakai wewangian, bercelak, dan mereka menghidupkan
malamnya dengan shalat. Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia
berkata tentang shalat berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb Al Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang ini. Kedua,
bahwa dibenci (makruh) berjamaah di masjid untuk shalat, berkisah, dan
berdoa pada malam itu, namun tidak mengapa jika seseorang shalatnya
sendiri saja. Inilah pendapat Al Auza’i, imam penduduk Syam dan faqih (ahli fiqih)-nya mereka dan ulamanya mereka.” Selesai kutipan dari Syaikh ‘Athiyah Saqr Rahimahullah. (Fatawa Al Azhar, Juz. 10, Hal. 131. Syamilah)
Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah
Beliau menjelaskan tentang hukum mengkhususkan ibadah pada malam Nishfu Sya’ban:
“Dan di antara bid’ah yang di ada-adakan manusia pada malam tersebut adalah: bid’ahnya mengadakan acara pada malam nishfu sya’ban,
dan mengkhususkan siang harinya berpuasa, hal tersebut tidak ada
dasarnya yang bisa dijadikan pegangan untuk membolehkannya.
Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang keutamaannya adalah dha’if
dan tidak boleh menjadikannya sebagai pegangan, sedangkan hadits-hadits
tentang keutamaan shalat pada malam tersebut, semuanya adalah maudhu’
(palsu), sebagaimana yang diberitakan oleh kebanyakan ulama tentang
itu, Insya Allah nanti akan saya sampaikan sebagian ucapan mereka, dan
juga atsar (riwayat) dari sebagian salaf dari penduduk Syam dan
selain mereka. Jumhur (mayoritas) ulama berkata: sesungguhnya acara pada
malam itu adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang bercerita tentang
keutamaannya adalah dha’if dan sebagiannya adalah palsu. Di antara ulama yang memberitakan hal itu adalah Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Latha’if alMa’arif dan lainnya. Ada pun hadits-hadits dha’if hanyalah
bisa diamalkan dalam perkara ibadah, jika ibadah tersebut telah
ditetapkan oleh dalil-dalil yang shahih, sedangkan acara pada malam nishfu sya’ban tidak ada dasar yang shahih, melainkan ‘ditundukkan’ dengan hadits-hadits dha’if.” (Fatawa al Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 4/281) Sekian kutipan dari Syaikh Ibnu Baz.
Larangan Pada Bulan Sya’ban
Pada bulan ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada yaumusy syak
(hari meragukan), yakni sehari atau dua hari menjelang Ramadhan. Maksud
hari meragukan adalah karena pada hari tersebut merupakan hari di mana
manusia sedang memastikan, apakah sudah masuk 1 Ramadhan atau belum,
apakah saat itu Sya’ban 29 hari atau digenapkan 30 hari, sehingga
berpuasa sunah saat itu amat beresiko, yakni jika ternyata sudah masuk
waktu Ramadhan, ternyata dia sedang puasa sunah. Tentunya ini menjadi
masalah.
Dalilnya, dari ‘Ammar katanya:
“Barang siapa yang berpuasa pada yaumus syak, maka dia telah
bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.” (HR. Bukhari, Bab Qaulun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Idza Ra’aytumuhu fa shuumuu)
Para ulama mengatakan, larangan ini adalah bagi orang yang mengkhususkan berpuasa pada yaumusy syak
saja. Tetapi bagi orang yang terbiasa berpuasa, misal puasa senin
kamis, puasa Nabi Daud, dan puasa sunah lainnya, lalu dia melakukan itu
bertepatan pada yaumusy syak , maka hal ini tidak dilarang berdasarkan riwayat hadits berikut:
“Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan puasa
sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan
puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu.” (HR. Bukhari No. 1815)
Bulan Ramadhan dan Keutamaannya
Ini adalah bulan agung yang pling banyak dinantikan oleh seluruh umat
Islam. Banyak keutamaan yang diterangkan dalam Al Quran dan As Sunah
tentang bulan ini. Sebagaian di antaranya:
Bulan diturunkannya Al Quran
Allah Ta’ala berfirman:
”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil)…” (QS. Al Baqarah (2): 185)
Bulan Terdapat Lailatul Qadar (malam kemuliaan)
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam
kemuliaan, dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? malam kemuliaan
itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadr (97) : 1-3)
Shalat pada malam Lailatul Qadar menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang
siapa yang shalat malam pada malam Lailatul Qadar karena iman dan
ihtisab (mendekatkan diri kepada Allah) , maka akan diampuni
dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 35, 38, 1802)
Shalat malam (tarawih) Pada Bulan Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang shalat malam pada Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari No. 37 1904, 1905)
Berpuasa Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 38, 1910, 1802)
Makna ‘diampuninya dosa-dosa yang lalu’ adalah dosa-dosa
kecil, sebab dosa-dosa besar –seperti membunuh, berzina, mabuk, durhaka
kepada orang tua, sumpah palsu, dan lainnya- hanya bias dihilangkan
dengan tobat nasuha, yakni dengan menyesali perbuatan itu, membencinya,
dan tidak mengulanginya sama sekali. Hal ini juga ditegaskan oleh
hadits berikut ini.
Diampuni dosa di antara Ramadhan ke Ramadhan
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan ke
Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara mereka, jika dia menjauhi
dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233)
Dibuka Pintu Surga, Dibuka pinta Rahmat, Ditutup Pintu Neraka, dan Syetan dibelenggu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu.” (HR. Muslim No. 1079)
Dalam hadits lain:
“Jika bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu rahmat, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dirantai.” (HR. Muslim No. 1079)
Demikianlah keutamaan bulan Ramadhan dan keutamaan ibadah di
dalamnya, yang ditegaskan dalam Al Quran dan hadits-hadits yang shahih.
Sedangkan cerita dari mulut ke mulut, dari khathib ke khathib, dan dari
buku ke buku, bahwa:
- Barang siapa yang berbahagia dengan datangnya Ramadhan maka diharamkan masuk ke neraka.
- Tidurnya orang puasa adalah ibadah (Naumush Shaim ‘Ibadah)
- Sepuluh hari pertama Ramadhan adalah rahmat, yang kedua adalah maghfirah, dan yang ketiga adalah dijauhkan dari api neraka.
- Keutamaan tarawih malam pertama adalah begini, malam kedua adalah begitu ..dst.
Hadits-hadits ini adalah dhaif (lemah), bahkan ada yang munkar dan palsu. Dan masih banyak hadits-hadits dhaif seputar Ramadan dan puasa yang beredar di masyakarat, dan ini hanyalah contoh.
Sedangkan, hadits-hadits yang menyebutkan:
- Bau mulut orang puasa lebih Allah cintai dibanding minyak kesturi
- Barangsiapa yang berpuasa fi sabilillah maka akan dijauhkan wajahnya dari api neraka sejauh 70 tahun perjalanan
- Setiap amal anak adam adalah untuk dirinya, kecuali puasa, dia adalah untukKU, dan Akulah yang akan membalasnya sendiri
- Disediakan bagi orang puasa pintu surga bernama Ar Rayyan.
Hadits-hadits ini semuanya adalah shahih diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim. Tetapi, hadits-hadits ini tidak bicara tentang
puasa Ramadhan secara khusus, melainkan juga bagi orang berpuasa walau
pun di bulan lain secara umum.
Wallahu A’lam
[1] Sebagian imam ahli tafsir menyebutkan bahwa, hukum berperang pada bulan-bulan haram adalah dibolehkan, sebab ayat ini telah mansukh (direvisi) secara hukum oleh ayat: “Perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian menjumpainya ….”. Sementara, ahli tafsir lainnya mengatakan, bahwa ayat ini tidak mansukh, sehingga
larangan berperang pada bulan itu tetap berlaku kecuali darurat. Dan,
Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini
mansukh (direvisi) hukumnya. (Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram
adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelaranagn hanya terjadi pada
awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam)
[2] Kelemahan hadits ini, karena dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin Abi Ruqad dan Ziyad an Numairi.
Imam Bukhari berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Munkarul hadits.” (haditsnya munkar) (Imam al Haitsami, Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 165. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam An Nasa’i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz Dzahabi sendiri mengatakan: “Dha’if.” Sedangkan tentang Ziyad an Numairi beliau berkata: “Ziyad dha’if juga.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 2, Hal. 65)
Imam Abu Daud berkata: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An Nasa’i dalam kitabnya yang lain, Adh Dhu’afa, mengatakan: “Munkarul hadits.” Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya.”(Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 3, Hal. 263)
Sedangkan tentang Ziyad An Numairi, berkata Imam Al Haitsami tentang Ziyad an Numairi: “Dia dha’if menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).” (Majma’ az Zawaid, Juz. 10, Hal. 388. Darul Kutub Al Ilmiyah) )
Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa penduduk Bashrah meriwayatkan dari Ziyad hadits-hadits munkar. Imam Yahya bin Ma’in meninggalkan hadits-haditsnya, dan tidak menjadikannya sebagai hujjah (dalil). Imam Yahya bin Ma’in juga berkata tentang dia: “Tidak ada apa-apanya.” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 1, Hal. 306)
Sementara dalam Al Jarh wat Ta’dil, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dha’if.” (Imam Abu Hatim ar Razi, Al jarh Wat Ta’dil, Juz. 3, Hal. 536). Demikian
Imam Bukhari berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Munkarul hadits.” (haditsnya munkar) (Imam al Haitsami, Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 165. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Imam An Nasa’i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz Dzahabi sendiri mengatakan: “Dha’if.” Sedangkan tentang Ziyad an Numairi beliau berkata: “Ziyad dha’if juga.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 2, Hal. 65)
Imam Abu Daud berkata: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An Nasa’i dalam kitabnya yang lain, Adh Dhu’afa, mengatakan: “Munkarul hadits.” Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya.”(Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 3, Hal. 263)
Sedangkan tentang Ziyad An Numairi, berkata Imam Al Haitsami tentang Ziyad an Numairi: “Dia dha’if menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).” (Majma’ az Zawaid, Juz. 10, Hal. 388. Darul Kutub Al Ilmiyah) )
Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa penduduk Bashrah meriwayatkan dari Ziyad hadits-hadits munkar. Imam Yahya bin Ma’in meninggalkan hadits-haditsnya, dan tidak menjadikannya sebagai hujjah (dalil). Imam Yahya bin Ma’in juga berkata tentang dia: “Tidak ada apa-apanya.” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 1, Hal. 306)
Sementara dalam Al Jarh wat Ta’dil, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dha’if.” (Imam Abu Hatim ar Razi, Al jarh Wat Ta’dil, Juz. 3, Hal. 536). Demikian
[3] Kitab tasawwuf yang ditulis oleh Syaikh Abu Thalib Muhammad bin Ali bin ‘Athiyah Al Haritsi Al Makki
[4] Kitab tasawwuf yang sangat terkenal yang ditulis oleh Imam Al Ghazali Ath Thusi
[5] Atsar Israiliyat adalah
berita atau riwayat yang berasal dari kisah-kisah orang Bani Israel
yang menyusup ke dalam kitab-kitab dan keyakinan umat Islam. Statusnya,
tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), walau memiliki hikmah yang baik.
[6] Syam saat ini adalah Palestina, Jordan, dan Siria.