Seperti angin membadai. Kau tak melihatnya. Kau merasakannya.
Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah gurun.
Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan
bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta. Ia
ditakdirkan jadi kata tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa. Tapi
dahsyat.
Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa mencegahnya. Kau hanya bisa
ternganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan
bumi, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam
sekejap ia menguasai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutannya. Setelah
itu ia kembali tenang: seperti seekor harimau kenyang yang terlelap
tenang. Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang
menyimpan kekuasaan besar.
Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat melawannya. Kau hanya bisa
menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari
membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah,
kota-kota, hutan-hutan. Dan seketika semua jadi abu. Semua jadi tiada.
Seperti itulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan angkara murka yang
mengawal dan melindungi kebaikan.
Inilah obrolan manusia sepanjang masa. Inilah legenda yang tak pernah
selesai. Maka abadilah Rabiah Al-Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau
Gibran karena puisi atau prosa cinta mereka. Abadilah legenda Romeo dan
Juliet, Laela Majunun, Siti Nurbaya, atau Cinderella. Abadilah Taj Mahal
karena kisah cinta di balik kemegahannya…
Barangkali kita memang tidak perlu definisi. Toh kita juga tidak
butuh penjelasan untuk dapat merasakan terik matahari. Kita hanya perlu
tahu cara kerjanya. Cara kerjanya itulah definisinya: karena -kemudian-
semua keajaiban terjawab di sana…
Anis Matta dalam bukunya Serial Cinta