Hati saya maju mundur membuat akun (kompasiana) ini. Lakukan, tidak. Lakukan, tidak. Sampaikan, tidak. Sampaikan, tidak.
Saya tak setegar orang tua, yang tetap berjuang meskipun wadah yang
dicintainya kini sedang diserang pisau-pisau tajam dari luar. Saya tak
se-membara orang tua, untuk berapi-api berjuang dalam jalan yang mereka
sebut dakwah.
Lahir pada tahun 1991, sejak kecil saya telah diakrabi dengan kegiatan
orangtua yang disebut dakwah. “Abi (ayah) ke mana?” “Dakwah, sayang. Abi
sedang berjuang untuk dakwah.”
Hingga saat ini rumah saya terkenal kosong dari jam 6 pagi - 5 sore.
Dulu saat dakwah itu belum lahir menjadi sebuah wadah bernama Partai
Keadilan, saat-saat rumah yang kosong itu pun tidak dapat dipastikan.
Abi yang senantiasa ke luar kota untuk menyebarkan semangat ber-Islam,
pulang dengan motor otok-otoknya yang selalu kami tunggu. Kami tunggu
abi pulang. Karena sebelum tidur, abi punya hutang. Membacakan kisah
para Nabi & para shahabatnya kepada saya dan adik-adik.
Di subuh hari, rumah kami penuh kicauan. Al-Qur’an. Kadang kala sampai
jam 6. Tidak boleh berangkat sekolah kalau target bacaannya hari ini
belum tercapai.
Kami bukan keluarga kaya. Bahkan kalau boleh dibilang tak punya. Semua
uang yang dihasilkan Abi & Umi digunakan untuk menyekolahkan saya
dan adik-adik. Sempat les bahasa arab juga, namun terhenti karena
kebutuhan saya & adik-adik akan buku. Setiap minggu bisa 6-10 buku
abi belikan dari toko buku bekas untuk kami.
Kami bukan keluarga kaya. Tapi masih dikorbankan Abi untuk berdakwah ke
luar kota yang berjarak 7-8 jam dari rumah dengan sepeda motor. Biaya
sendiri, hanya untuk sebuah pertemuan yang tak lebih dari 3 jam.
Pertemuan yang hingga saat ini bagi saya menjadi suplemen mingguan.
Pertemuan yang saya sebut lingkaran cinta, karena rasa akrab dan cinta
yang tak dapat saya temukan di mana pun juga.
Itu dilakukan abi terus dan menerus. Seminggu bisa 3-4 kali yang namanya
berdakwah. Sampai-sampai rasanya kami terabaikan. Hanya bertemu abi di
Subuh dan malam sebelum tidur. Padahal menghasilkan uang lebih juga
tidak.
Umi (Ibu) pun sama. Kegiatan berputar antara rumah, kerja, dan dakwah.
Ada masa ketika wanita-wanita berwajah teduh memenuhi rumah kami dengan
kicauan Al-Qur’an dan tawa lembut. Kemudian ketika saya atau adik
mengintip melalui gorden, mereka tersenyum, membujuk kami keluar ke
ruang tamu yang sesak. Dipeluk, digendong, disayang.. Ah, memiliki Umi
yang berdakwah tak pernah seindah ini.
Tapi juga ada masa ketika saya bertanya-tanya, apakah Umi tidak terlalu
baik kepada tamunya? Hingga kadang terasa perlakuan terhadap tamu lebih
baik dibanding terhadap anaknya. Baru sekarang memahami, ah, anak memang
perlakuannya berbeda. Harus tegas, kalau tidak saya tetap nakal hingga
sekarang.
Berdirinya Partai Keadilan saat itu belum melonggarkan himpitan
kesibukan orang tua yang terasa. Dakwah, dakwah, dakwah. Kapan waktu
untuk keluarga?
Ada, sebenarnya. Dulu sebelum Partai Keadilan terbentuk, hingga beberapa
tahun setelahnya, orang-orang yang berjalan di jalan dakwah ini senang
mengumpulkan keluarga. Kami liburan bersama. Hampir setiap kami,
anak-anaknya, liburan sekolah. Tentu saja lelaki dan perempuan dipisah.
Suatu kali saya terbangun tengah malam di sebuah liburan di pegunungan.
Saat itu saya keluar dan melihat barisan yang sedang berdiri berjama’ah.
Ah, mereka sholat malam. Isak tangis terdengar lirih di mana-mana.
Indah..
Bagi yang belum pernah merasakan, cobalah shalat malam di sudut kamar,
gelapkan. Ungkapkan isi hati, penyesalan, dosa. Keluarkan tangis sesal,
duka, harapan. Saat itu terasa betul Tuhan melangkah seribu kali lebih
dekat..
Beberapa tahun setelah Partai Keadilan terbentuk, saat kadernya mulai
bertambah, kesibukan dakwah itu mulai berkurang. Orang tua saya kemudian
meluangkan waktu lebih banyak dengan keluarga. Tapi bagi saya, sedikit
terlambat. Dalam hati saya merasa kesepian karena kecilnya peran orang
tua saat saya masih kecil. Saya pun bertekad, tidak akan menjadi sesibuk
mereka. Saya akan merawat dan dekat dengan anak-anak saya kelak. Saya
akan membagi waktu antara kesibukan luar rumah dengan anak-anak saya.
Sebagaimana saya ingin cinta yang lebih, saya ingin memberikan anak-anak
saya nanti cinta yang lebih. Lebih lebih lebih banyak.
Kemudian saya menikmati hidup. Menjauh dari kegiatan PKS yang seringkali
melingkar dengan orang-orang PKS sendiri. Bersenang-senang. Tertawa.
Meskipun terkadang kekosongan itu terasa. Saya ingin bebas. Karena
menjadi anak kader di lingkungan PKS, berarti tidak bisa menjadi diri
saya yang saya inginkan. Akan selalu diasosiasikan dengan orang tua.
“Ah, anaknya Ustadz X ya?” “Gimana kabar Umi?” Baik sih, kadang terlalu
baik.
Kalau ada kegiatan, judul kolom absen bagi kami itu ada kolom khusus : nama orang tua.
Kekosongan itu lama-kelamaan semakin besar. Meskipun saya tertawa
bersama teman, ada yang saya rindukan. Dan kini, ketika wadah jalan
dakwah itu sedang dicaci maki.. Hati saya tergerak dan tersadar.
Ah, ini yang saya rindukan..
Kebersamaan dalam perjuangan. Kebersamaan dalam semangat. Kebersamaan
dalam menyebarkan keindahan Islam. Kebersamaan yang mengikat orang-orang
yang berada pada jalan dakwah ini menjadi satu jiwa. Ketika seujung
kuku sakit, ujung rambut merasa. Hingga sakit itu kemudian dirasakan
bersama.
Meskipun saya hingga saat ini tidak tercatat sebagai kader PKS di mana
pun, saya tetap bergabung dalam sebuah lingkarang cinta. Di mana kami
saling menyapa, mendo’akan, mengingatkan, berbagi kisah.
Hingga suatu saat lingkaran kecil saya menyetel video pengangkatan
Ustadz Anis Matta. Bahkan saya pun menangis. Saya, satu-satunya orang
yang tidak tercatat sebagai kader PKS di lingkaran cinta itu. Saya yang
selama ini selalu berperang dengan ide, bahwa dakwah tidak harus di PKS!
Kemudian saya dengar seorang wartawan menanyakan kepada salah satu
pengurus Partai Keadilan Sejahtera yang pada momen itu menangis. Kenapa
menangis?
Ah, cinta.. Harus dijawab kah?
Kujawab pun kalian tiada mengerti. Karena belum kalian rasakan ruh-ruh
yang saling diakrabkan oleh iman. Belum kalian rasakan persaudaraan
melebihi sahabat yang tak perlu harus diungkapkan bagaimana rasanya.
Tidak terlukiskan.
Hati ini menangis. Menjerit. Air mata ini terus meleleh. Karena hati ini merasakan sakit.
Sebuah keyakinan yang entah darimana datangnya.
Terbayang hari-hari di mana kami harus makan seadanya, sementara uang digunakan untuk membeli bensin membela dakwah. Ah, cinta..
Detik itulah saya sadar. Inilah jalan yang dicintai orang tua saya.
Jalan yang dicintai sama besarnya dengan cinta terhadap anak-anaknya.
Juga jalan yang diharapkan akan mempermudah anak-anaknya.
Orang tua saya dan teman-temannya termasuk orang-orang yang
memperjuangkan diperbolehkannya jilbab & kerudung di negeri ini.
Mereka termasuk orang-orang yang getol berjuang membela sesuatu yang
saat itu bahkan belum tampak masa depannya. Usaha, usaha, usaha, dan
keyakinan bahwa Allah akan menunjukkan hasil nantinya.
Maka saya katakan kepada orang yang kini terus mencaci maki jalan orang
tua saya, dan insya Allah saya nantinya, makilah! Toh hanya mulutmu yang
bisa kau gunakan. Uangmu habis untuk membesarkan perutmu saja. Makilah!
Inilah jalan yang banyak menghabiskan nyawa di antara tahun 1990-1997.
Teringat sebuah majalah islami yang saya baca saat masih beranjak TK.
Salah seorang muslimah yang turut berjuang di jalan ini mati dicekik
hingga kehabisan napas ketika pulang dari berdakwah. Tidak untuk
dirampok, karena hartanya masih ada. Tidak untuk dinistai, karena
tubuhnya bersih. Dan tidak perlu ditanyakan kenapa lagi, karena banyak
pejuang yang mengalami nasib serupa.. Makilah!
Di antara sekian politik kotor di negeri ini, tak bisakah mata mu
melihat mana yang lebih jernih? Sungguh manusia tiada yang sempurna.
Yang ada hanya insan yang senantiasa ingin menjadi lebih baik di setiap
saatnya.
Maka di mana kah kamu saat ini? Di golongan memaki, atau golongan yang
terus berupaya menciptakan Indonesia yang lebih baik? Karena sungguh
orang yang mengerti kerja keras perubahan tidak akan mudah mengeluarkan
celaan.
—————————————————
Semoga keberadaan akun (Kompasiana) ini tidak menjadi sebuah fitnah, karena hanya kebenaran yang ingin saya sampaikan melalui akun ini. Perwakilan isi hati saya atas apa yang saya rasakan ketika menjadi anak kader PKS. Dan sampai sekarang, hanya PKS yang ada di hati saya. Bismillah, do’akan saya menjadi anak yang lebih baik, hingga suatu saat dapat bergabung dalam barisan ini dengan rasa pantas.
*http://politik.kompasiana.com/2013/03/05/pks-sebuah-perjalanan-panjang-534297.html