____________________________________________________
Al Fahm: untukmu kader dakwah (1)
Tak ada perintah meminta tambahan seperti
perintah meminta tambahan. Bahkan perintah itu diarahkan kepada Rasul pilihan
Saw. Dan katakanlah: ya Rabbi, tambahkan
daku ilmu (QS. 20:114). Bagi Ashabul Kahfi, sesudah iman tambahan ni’mat
berupa Huda (petunjuk) itu pada hakikatnya juga ilmu.
Kecuali efek kesombongan yang sebenarnya bukan
anak kandung ilmu, seluruh dampak ilmu adalah kebajikan. Bukanpun ketika
seseorang terlanjur salah jalan, ilmu mengambil peran pelurus. Ia selalu jujur,
asal si empunya mau jujur. “lewat beberapa masa, aku menuntut ilmu dengan
motivasi yang salah, tetapi sang Ilmu tidak mau dituntut kecuali karena Allah,”
kata Al Ghazali,
Tentu saja seseorang tidak harus mengumpulkan
ilmu sebagai kolektor tanpa komitmen amal, karena hal seperti dapat dilakukan
oleh hard disc, diskette, pita
perekam atau mata pensil. Bagaimana ilmu menjadi serangkaian informasi yang
mengantarkan penuntutnya kepada kearifan, itulah soal besar yang menjadi batu
ujian para ulama. “Sesungguhnya yang
takut kepada Allah diantara para hamba-Nya yaitu ulama” (QS. 35:28)
Dengan melihat hubungan dan kedudukan ilmu,
nyatalah bahwa yang dimaksud dengan ilmu dan kemuliaan itulah ilmu nafi’ (ilmu yang bermanfaat).
Karena itulah, maka seluruh kata ilmu (dalam Al-Qur’an & Hadist) maksudnya
ilmu nafi’ , menurut Ibnu Athaillah. Selebihnya ia menjadi beban tanggungjawab
dan penyesalan, karena berhenti pada jidal
(debat), mubahah (kebanggan) dan
alat menarik keuntungan dunia.
Ilmu selalu membuat si empunya semakin rendah
hati, sensitif dan sungguh-sungguh.
Pemeliharaan
Tradisi Keilmuan
Betapapun hebatnya perusakan yang dilakukan
pasukan tartaran terhadap kitab-kitab para ulama, itu menjadi tak berarti
disbanding apa yang berkembang didunia keilmuan. Darah daging ilmu telah
membekas dihati para ulama. Seorang iman pergi musafir berbulan-bulan “hanya”
untuk mencari hadist singkat. Seorang ulama produktif menulis di penghujung
malam dan esoknya juru salin baru dapat menyelesaikan transkripnya dalam waktu
10 jam.
Tradisi keilmuan juga menyangkut etika pergaulan.
Hampir tak ditemukan ulama yang dating kepintu sultan kecuali ia penjilat atau
seorang yang sudah sampai ke tingkat ma’rifat yang tinggi. Seorang alim zuhud
menghindari sultan dan orang-orang kayak arena takut fitnah dunia, semetara
ulama yang arif billah (mengenal
Allah) datang kepada raja, untuk menasehati dan mengingatkan mereka.
Harun Al Rasyid meminta Imam Malik untuk
menziarahinya ‘agar anak-anak kami dapat mendeng kitab Al Muwattha” jelasnya.
Dengan pasti ia menjawab : “Semoga Allah menjayakan Amirul Mukminin. Ilmu ini
datang dari lingkungan kalian (Baitun
NubuwahI). Jika kalian memuliakannya ia menjadi mulia dan jika kalian
merendahkannya ia jadi hina. Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi”
Ketika sultan menyuruh kedua puteranya datang ke
masjid untuk mengaji bersama rakyat, Imam Malik mengatakan: “Dengan syarat
mereka tak boleh melangkahi bahu jama’ah dan duduk diposisi mana saja yang terbuka
untuk mereka.”
Sebagai Imam pembela sunnah yang sanga konsisten
melaksanakannya, Imam Syafi’I sangat kokoh dalam argumentasi. Kepiawaiannya
berdiskusi dilandasi keikhlasan yang luar buasa. “setiap kali aku berdebat
dengan seseorang, selalu kuberharap Allah mengalirkan kebenaran dari mulutnya,”
begitu ujar Imam Syafi’i.
Ilmu
antara Tahu dan Mau
Apa kabar penghafal sekian banyak ayat, pelahap
sekian banyak kitab dan pembahas sekian banyak qadhaya yang belum beranjak dari tataran tahu untuk bersiap menuju
mau? Siapakah engkau, wahai pengendara yang menerobos larangan masuk kawasan
berbahaya? Siapakah engkau yang diminta memilih antara madu dan racun, kurma
dan bara, lalu dengan sadar melahap bara mencampakkan kurma, meneggak racun
membuang madu? Alim, jahil atau sakitkah engkau? Siapakah gerangan engkau yang
tiba-tiba menemukan diri berada disebuah tempat yang nyaman dan membuatmu tidak
pernah berpikir untuk pergi karena tuan rumah tempat kau tinggal tak pernah
menagih rekening listrik, buah dan sayuran, kolam renang dan landasan pesawat,
menu dan lahan berburu. Kau menikmatinya berpuluh tahun, namun tak pernah
bertanya: Siapa pemilik rumah ini? Apa kewajibanmu disana? Kemana lagi engkau
sesudah ini?
Engkau yang telah menghabiskan seluruh usia untuk
penjelajahan ilmu yang memberitahukan berapa miliar tahun umur dunia, bagaimana
akurasi, peredaran bumi, matahari dan galaksi, ketepatan ekosistem dan karakter
benda, lalu menuduh wahyu itu kuno, karena telah melewati masa seribu empat
ratus tahun? Tak punyakah engkau segenggam rasa malu untuk pergi mencari planet
lain yang lebih muda? Seandainya engkau jumpai yang lebih muda, sadarkah engkau
bahwa itu bukan ciptaanmu? Siapakh engkau, wahai penjaga kebun anggur yang
disuruh menghantarkan untaian anggur, lalu pergi dengan lagak seperti pemilik
kebun dan tak mau kembali lagi, karena si pemabuk telah mempesonamu dengan
kepandaian mengubah anggur menjadi arak? Engkau tak punya secuil kearifan ahli
ilmu.
Ilmu
dan Kelapangan Wawasan
Beberapa banyak pedang diperlukan untuk
mengembalikan kaum khawarij yang memecah belah jama’ah (syaqqal asha)? Kaum ini
sesat bukan karena tidak sholat, shaum atau jihad. Keras telapak tangan mereka
dan menghitam dahi mereka lantaran sujud yang lama. Kurus badan mereka karena
puasa yang intensif. Saat pedang merobek perut dan memburai usus mereka,
melompat kalimat yang menakjubkan, ‘ku bersegera kepada Mu ya Rabbi agar engkau
ridha’ (QS 20:84). Bahkan ketika rasulullah Saw ditanya tentang sifat mereka,
beliau menjawab :”Kalian akan meremehkan
shalat kalian membandingkan dengan shalat mereka dan shiam kalian disbanding
dengan shiam mereka.” Fiqh (kedalaman
ilmu dan keluasan wawasan) tak menggenapi kehidupan intelektual mereka. Tapi Ibnu
Abbas ra cukup menggunakan ketajaman argumentasinya untuk mengembalikan 1/3
dari sekian puluh ribu kaum pemberontak khawarij. Oleh karena itulah kaum
khawarij- dan aliran nyeleneh lainnya sepanjang zaman- selalu menghindari
fuqaha yang mereka anggap selalu mematikan aspirasi mereka dan membenturkan
mereka dengan tanda tanya yang musykil. Belum terjadi apa-apa ketika sesepuh
kaum Nabi Nuh as mengusulkan agar dibangun tugu-tugu peringatan ditempat
biasanya duduk tokoh-tokoh terhormat mereka; Wadda, Suwa, Yauq, Yaghuts dan
Nasr. Barulah setelah generasi ini wafat dan ilmu telah dilupakan orang, maka
tugu-tugu itupun mulai disembah.
Suatu hari Abu Hasan Asy Syadzili kedatangan
rombongan tamu, para ulama dan fuqaha. Mereka sangat tersinggung ketika ia
bertanya: “Apakah kalian orang –orang yang mendirikan shalat?” mereka menjawab:
“Mungkinkah ‘fuqaha’ seperti kami tidak shalat?!” dengan tenang dilayang-layang
pertanyaan yang membuat mereka tersipu-sipu: “Apakah kalian orang yang bebas
gelisah, bila ditimpa musibah, tidak putus asa, dan bila mendapat nikmat
menjadi bakhil?” (QS 70:19-23)
Mengapa ulama akherat tak pernah berkelahi dan
ulama dunia tak putus-putus bertengkar? Karena akherat itu luas tak bertepi
sedangkan dunia sangat sempit. Wajar bila ulama dunia saling bertabrakan.
Diantara karunia besar datangnya Rasul penutup,
mata dunia dibuka dan era akal sehat dimulai, bebas dari mitos-mitos dan
manipulasi orang-orang pintar (baca: licik) atas rakyat yang lugu dan setia.
Inilah tonggak peralihan dari pengabdian manusia kepada sesame manusia menuju
pengabdian hanya kepada Allah sahaja.
Mungkin kekhasan Islam dalam menghargai ilmu dan
akal sehat, secara khusus Syaikh Alawi Al Maliki membuka Simthud Durar (untaian Mutiara), antologi sanjungannya kepada
Rasulullah Saw dengan kekhususan ini:
Segala puji bagi Allah
Yang telah melebihkan kita
Dengan Musthafa Nabi Pilihan
Yang mengagungkan pendidikan
___________________________
Penerbit
Pustaka Da'watuna
Pengarang
Rahmat Abdullah
Yang menjadi salah satu keunggulan dari karya ini, adalah kedalaman reflektifnya. Itu yang membedakannya dengan tulisan-tulisan karya orang lain seputar prinsip tersebut. Dan itulah kekuatannya. Dengan refleksi ini Anda aka diajak merenungkan 10 prinsip-prinsip dakwah itu dalam setting situasi, makna, dan fungsi yang luas. Dan itu pula yang menjadikan kumpulan tulisan ini, meski judulnya untuk kader dakwah tapi layak dibaca oleh siapa saja. Mungkin, sesekali memang terasa agak berat memahami beberapa penggal kalimat. Tetapi justru itu memberi penekanan makna sendiri pada saat Anda mencoba mencernanya kembali.
Pustaka Da'watuna
Pengarang
Rahmat Abdullah
Yang menjadi salah satu keunggulan dari karya ini, adalah kedalaman reflektifnya. Itu yang membedakannya dengan tulisan-tulisan karya orang lain seputar prinsip tersebut. Dan itulah kekuatannya. Dengan refleksi ini Anda aka diajak merenungkan 10 prinsip-prinsip dakwah itu dalam setting situasi, makna, dan fungsi yang luas. Dan itu pula yang menjadikan kumpulan tulisan ini, meski judulnya untuk kader dakwah tapi layak dibaca oleh siapa saja. Mungkin, sesekali memang terasa agak berat memahami beberapa penggal kalimat. Tetapi justru itu memberi penekanan makna sendiri pada saat Anda mencoba mencernanya kembali.
belum punya bukunya?, segera beli, mudah-mudahan masih ada stok, abis buku termasuk dah lama ^^
(and)