Target akhir dakwah kita adalah nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk) dan li I’laai kalimatillah (meninggikan kalimah Allah), hatta laa takuuna fitnatun wayakuunaddiinu kulluhu li-Llah (supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah). Jangan lupakan target akhir ini.
Amal khoiri yang pendekatannya kesejahteraan, jangan dianggap sebagai ghayah
(target akhir), itu sasaran antara saja. Memang dia suatu anjuran dari
Allah, tapi dia sasaran antara dari segi dakwah, diharapkan melalui ihsan kita menghasilkan penyikapan dan sambutan yang khoir. Hal jazaul ihsan illal ihsan, tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula. Tapi ihsan kita,
operasi mewujudkan kesejahteraan itu jangan dianggap tujuan akhir.
Negara-negara Eropa itu adalah Negara yang sejahtera hidupnya. Tapi 50%
penduduknya atheis.
Bagi kita, jadi camat, bupati, walikota, gubernur atau presiden, itu sasaran antara. Akhirnya hatta laa takuuna fitnatun wayakuunaddiinu kulluhu li-Llah (supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah). Wa kalimatullah hiyal ulya (dan kalimat Allah itulah yang tinggi).
Jadi, amal tsaqafi, orang jadi bertsaqafah; amal khairi,
orang jadi sejahtera; itu hanyalah sasaran-sasaran antara kita. Sebab
kalau orientasi masyarakat madani itu hanya terdidik, dan sejahtera
seperti di Eropa, banyak yang mulhid, atheis walaupun terdidik dan sejahtera. Walaupun bukan atheis terorganisir seperti komunis, style masyarakat sebagai individu itu atheis. Bahkan memandang keagamaan itu merupakan bagian dari budaya.
Di Jepang juga masyarakatnya sangat
sejahtera. Tapi bagi mereka agama itu kultur yang terserah selera, boleh
berganti kapan saja. Orang Jepang saat lahir umumnya disambut dengan
upacara-upacara Budha. Ketika nanti menikah dirayakan dengan upacara
Kristen dan ketika meninggal dengan upacara Sinto. Kata ikhwah yang
pernah bermukim di Jepang, pernah ada sensus keagamaan, ternyata pemeluk
agama di Jepang itu tiga kali lipat dari jumlah penduduk. Jadi mereka
sebenarnya sejahtera dan terdidik. Secara fisik, materi, mereka terlihat
bahagia. Tapi yabqa ala dhalalah (tetap dalam kesesatan).
Nah kita sebagai partai dakwah tidak begitu. Maksud saya, kalau kita sudah bisa mentau’iyah (menyadarkan), menjadi terbuka, bebas, demokratis, mentatsqif,
menjadi terdidik, atau menyejahterakan sekalipun, perjalanan kita masih
tetap jauh. Sebab sesudah itu, bagaimana mereka bisa kita
konsolidasikan, bisa kita koordinasikan, kita mobilisasikan, litakuuna kalimatulladziina kafaru sulfa wa kalimatullahi hiyal ‘ulya. Ini penting untuk selalu diingatkan dan dicamkan. Apalagi di masa-masa musyarokah (partisipasi politik) ini.
Jangan merasa sukses menjadi pemimpin
Pemda itu ukurannya sekedar telah membangun sekolah sekian, madrasah
sekian, kesejahteraan, pertanian subur; sementara hidayah tercecer.
Makanya keterpaduan langkah-langkah yang sifatnya tarfih (kesejahteraan), atau tatsqif (mencerdaskan bangsa) harus sejajar dengan upaya-upaya mendekatkan orang pada hidayah Allah. Harus begitu.
Ini saya ingatkan karena ketika kita di
masyarakat dituntut di sektor kesejahteraan, di sektor kebijakan, di
sektor pendidikan, di sektor kesehatan; maka harus secara menyatu
terpadu dengan nasyrul hidayah (menyebarkan petunjuk Islam), nayrul fikrah (menyebarkan gagasan Islam), wa nasyrul harakah (penyebaran gerakan dakwah). Agar mereka akhirnya bergerak bersama-sama li I’lai kalimatillah.
Taujih Ust. hilmi aminuddin