Tepat tanggal 1 bulan Desember, masyarakat seluruh dunia akan kembali memperingati hari HIV/AIDS. Hakikatnya, momen tersebut menjadi bukti kepedulian kita terhadap bahaya penyakit HIV/AIDS dan resiko penyebarannya. Isu ini bukan lagi hal yang baru di telinga masyarakat, namun demikian ada hal penting yang patut disoroti bersama, yaitu penolakan seks bebas untuk meredam resiko terjangkiti penyakit HIV/AIDS dengan pola hidup sehat.
Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987, angka kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan hampir mencapai angka 100.000. lebih dari itu, resiko penyebarannya berpotensi mengalami peningkatan, sebagaimana data yang disampaikan oleh Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian kesehatan, Tjandra Yoga Aditama, bahwa tercatat setidaknya 5000 kasus baru HIV, dan 1300 kasus AIDS yang terjadi sepanjang Juli hingga September pada tahun 2012 yang lalu.
Dari angka tersebut, untuk kasus HIV saja, hampir setengahnya didominasi oleh kalangan dewasa berumur 25-40 tahun (sekitar 75%). Hampir sama buruknya untuk kasus AIDS, dengan jumlah penderitanya yang lebih banyak berumur kisaran 20-40 tahun (sebanyak 69%). Dari laporan kementerian kesehatan tersebut, juga ditekankan bahwa tidak ada perbedaan signifikan terhadap resiko penyebaran terhadap laki-laki maupun perempuan.
Kampanye penolakan terhadap seks bebas sepatutnya menjadi misi utama yang digalang oleh masyarakat, terutama di Indonesia, sebagai salah satu bentuk kepedulian sosial bagi seluruh lapisan masyarakatnya. Sejauh ini, cukup banyak metode pendekatan yang ditempuh, baik oleh dinas kesehatan seperti Layanan Konseling Sukarela (KTS), Layanan Infeksi Menular Seksual (IMS), dan lainnya. Namun begitu, angka tersebut menunjukkan bahwa tidak cukup dengan memberikan pendekatan sedemikian.
Jika pendekatan terhadap kasus penyakit HIV/AIDS ini ditelusuri dari sudut pandang sosial – bahkan tidak salah jika mengusung kembali semangat berbudaya “timur” yang dikonotasikan sebagai budaya santun dan berkarakter “Indonesia” – bahwa ternyata angka kasus penyebaran penyakit tersebut secara umum dilatarbelakangi atas seks bebas yang dilakukan dengan berganti-ganti pasangan dan atas pola perilaku hidup bebas, khususnya seks pra-nikah.
Statistik angka kasus di atas hanya ibarat puncak gunung es, yang tertutup dengan sekian banyak kasus-kasus yang memang tidak dilaporkan, dengan berbagai alasan. Sebuah kesamaan yang bisa ditarik dari contoh-contoh kasus HIV/AIDS di lapangan adalah pola hidup, terutama seks, yang bermasalah, dan banyak diawali oleh perilaku seks menyimpang (untuk menjelaskan seks di luar nikah). Tentunya, jauh-jauh hari sebelum seseorang mendapati dirinya terjangkiti penyakit tersebut, harus disadari bahwa pola hidup seks harus benar-benar diperhatikan, karena pada dasarnya penyebaran penyakit HIV/AIDS hanya melalui hubungan seksual (atau penggunaan jarum suntik tidak steril).
Mencermati gerakan pembagian kondom secara besar-besaran, yang hampir setiap tahun dilakukan, yang dianggap sebagai salah satu bentuk kampanye penolakan seks bebas, tentunya tidak salah jika publik mempertanyakan maksud dibalik gerakan tersebut sebelum mampu menangkap tujuannya. Ada kekhawatiran bahwa pembagian kondom tersebut disinyalir justru memprovokasi masyarakat untuk melakukan seks bebas dengan cara “aman”. Berarti, persoalannya apakah yang menjadi titik tekan persoalan pencegahan terhadap penyakit HIV/AIDS diawali dari memulai pola hidup seks yang sehat, dalam artian tidak berganti-ganti pasangan (seks dalam ikatan pernikahan) atau sebaliknya. Tentunya, pendekatan yang dilakukan secara masif harus sangat mempertimbangkan aspek sosial dari masyarakat itu sendiri.
Resiko penyebaran terjangkiti penyakit HIV/AIDS sepatutnya menjadi kekhawatiran semua pihak, tidak hanya instansi pemerintah, tetapi kepada seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan yang terbaik perlu ditekankan agar usaha dan tujuan untuk menghindari penyakit tersebut bisa berjalan efektif.
Tentu saja, menjauhi seks bebas jauh lebih baik, bukan?
Dengan adanya rencana dilakukannya Pekan Kondom Gratis oleh KPAN, di mana akan ada pembagian kondom gratis, LDK Salam UI menyatakan sikap:
Menolak adanya pekan kondom nasional di seluruh Indonesia. Pekan kondom tidak memberikan dampak signifikan terhadap turunnya angka penderita AIDS di Indonesia, angka penderita AIDS semakin bertambah. Kondom bukan solusi.
Menolak pembagian kondom yang tidak tepat sasaran. Hal tersebut menjadi pintu dari perbuatan seks bebas.
Mendukung segala bentuk penanggulangan AIDS yang sesuai dengan norma dan nilai agama tanpa harus membuka kesempatan untuk merusak moral anak-anak Indonesia.
Mengajak masyarakat Indonesia untuk terus memberi dukungan dan kepedulian kepada para penderita AIDS tanpa harus mengucilkannya dari masyarakat.
Meminta kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk berperan aktif mencegah HIV/AIDS tanpa harus merusak moral bangsa Indonesia.
Redaktur: Retummoc
Sumber: http://www.dakwatuna.com/