Oleh: KH. Hilmi Aminuddin
Setiap muslim senantiasa dituntut berbuat ihsan dalam segala sesuatu. Rasulullah saw pernah bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu”. (HR. Muslim).
Tidak dapat tidak, semua aktifitas seseorang muslim dalam kehidupannya harus tercelup dalam nuansa ihsan. Baik dalam aktifitas ibadah mahdhah (ritual) seperti shalat, do’a, dzikir, tilawatil Qur’an, hajji; juga dalam ibadah-ibadah dalam arti yang umum, seperti berdagang, menuntut ilmu, bertetangga dan bekerja. Semuanya harus diwarnai sikap ihsan.
Dalam syariat Islam, ihsan memiliki dua makna, yaitu:
Kebersamaan dengan Allah swt.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw ketika ditanya Malaikat Jibril tentang makna ihsan. Beliau memberikan pengertian ihsan: “Engkau mengabdi kepada Allah seakan-akan engkau melihat Dia. Kalau engkau tidak dapat melihat Dia, maka sesungguhnya Dia melihat kamu”. (HR. Muslim).
Dari sabda Rasulullah saw tersebut, diharapkan dalam diri seorang muslim tumbuh sikap ma’iyatullah atau kebersamaan dengan Allah Ta’ala. Sikap merasa senantiasa dalam pengawasan Allah swt dalam seluruh sisi kehidupannya. Tidak ada satu sisi pun yang lalai dari pengawasan Rabbul ‘alamin.
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya, dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadilah ayat 7)
Ada perbedaan prinsip anatara mereka yang merasa senantiasa berada dalam pengawasan Allah swt dengan mereka yang tidak merasa ada pengawasan dari-Nya. Orang yang merasa hidupnya diawasi Allah swt akan senantiasa berjalan hati-hati dalam meniti hidup serta dakwahnya. Mengerjakan amalan shalih tidak hanya di hadapan keramaian, tetapi juga di kala sepi dan sendiri. Demikian pula sebaliknya, meninggalkan yang jahat dan maksiat pun di kala keramaian mau pun ketika sendiri. Sedang orang yang tidak merasa diawasi Allah swt akan berbuat sesuka hati dalam kehidupannya, merasa tenang ketika berbuat dosa dan memiliki rasa takut hanya terhadap aparat keamanan.
Kisah Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra dengan penjual susu menjadi teladan abadi tentang tingginya nilai ihsan. Ketika ibu penjual susu memaksa anaknya—Laila—untuk mencampur susu dengan air biasa. Jawab Laila, “Tidak boleh bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air”.
“Tetapi semua orang melaksanakan hal itu nak, campur sajalah! Toh, Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukan itu…”, kata sang ibu.
“Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb dari Amirul Mukminin pasti mengetahui.”
Masya Allah…Ucapan itu membuat Amirul Mukminin yang sedang mengintainya berderai air mata.
Alangkah mulianya jika setiap muslim menghiasi kehidupannya dengan jiwa ma’iyyatullah.
Berbuat baik karena Allah swt
Ihsan dapat pula bermakna berbuat baik karena Allah swt, sebagaimana perintah-Nya:
“…dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash ayat 77).
Berbuat baik adalah akhlaq setiap makhluq Allah swt dia atas permukaan bumi ini. Berbuat baik ini meliputi pengertian memenuhi hak-hak orang lain dan memperhatikan adab-adabnya dalam setiap perilaku. Tidak masa bodoh, beku hati dan asal mau menangnya sendiri. Rasulullah saw memberikan panduan tentang apa yang disebut kebaikan. Ketika Wabishah bin Ma’bab ra bertanya tentang kebaikan, jawab beliau saw,
“Mintalah fatwa dari hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tenteram jiwa padanya dan tenteram pula dalam hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya”. (dari Musnad Ahmad bin Hambal).
Rasulullah saw telah memberikan teladan yang mulia tentang sikap baiknya kepada sahabat-sahabat, kepada tetangga, isteri, anak cucu, bahkan terhadap musuh-musuh sekalipun. Beliau berpesan untuk berbuat baik bila membunuh, baik membunuh musuh-musuh Allah Ta’ala dalam peperangan mau pun terhadap binatang sembelihan.
“Maka apabila kamu membunuh hendaklah membunuh dengan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”. (HR. Muslim).
Alangkah mulianya bila seorang muslim menghiasi hidupnya dengan senantiasa berbuat baik kepada sesamanya, kepada binatang, dan kepada alam semesta.
Sikap ihsan memiliki dimensi ma’iyyatullah dan berbuat baik karena Allah swt akan mendorong seorang muslim untuk senantiasa memasang niat baik untuk memulai segala aktifitasnya. Niat untuk melandasi segala katifitas karena Allah Ta’ala, niat untuk bekerja dengan serius dan senantiasa meningkatkan prestasi, serta niat untuk melaksanakan semua tugas-tugas hidup dengan sebaik-baiknya. Bila seorang muslim mempunyai niat yang sedemikian ini, tiada hasil yang akan didapatkannya kecuali kebaikan (ihsan) pula.
http://www.al-intima.com