Komentar seorang sahabat di sebuah catatan saya terdahulu menggelitik saya untuk membuat tulisan tentang Golput.
Dalam pilihan strategi, ada strategi yang sifatnya aktif (contending, mediating, problem solving) ada pula yang tidak aktif. Strategi inaction (tidak melakukan apapun) dan withdrawl (mundur dari medan negosiasi) merupakan dua strategi yang pelakunya secara sengaja tidak bergerak aktif. Dalam perhitungan pelaku, dengan bersikap pasif, ia akan mampu menciptakan alternatif perolehan baru yang lebih bagus daripada peluang-peluang perolehan di meja perundingan.
Dalam “medan” pemilu, pemilih dihadapkan pada beberapa opsi tindakan, yang secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok: memilih (aktif) dan tidak (pasif). Masing-masing opsi diyakini mampu menyuarakan kepentingan sang pemilih, sehingga memilih atau golput dianggap sebagai strategi yang “viable” untuk dilakukan.
Dalam tulisan ini, saya berpendapat bahwa golput bukanlah strategi yang viable untuk dilakukan. Syarat strategi agar viable, adalah:
Dalam pemilu, suara golput adalah suara yang terbuang. Misal dalam sebuah pemilu 99% golput pun, pemilu tetap akan sah dan pemenangnya ditentukan oleh 1% yang memilih.
Ini jelas berbeda dengan sidang parlemen, yang memiliki batas minimum partisipasi sehingga dinyatakan sah. Dalam sidang parlemen, langkah satu kelompok politik untuk memboikot sidang (tidak hadir, keluar dari forum, protes dsb) menjadi penting. Jika jumlah mereka cukup banyak, kelompok protes ini dapat memaksa terjadinya deadlock dengan terus-menerus menunda sidang. Sikap withdrawl mereka ini secara lantang menyuarakan kepentingan mereka sekaligus memberikan peluang perolehan baru; pada satu titik pihak lawan akan tidak bisa menerima penundaan, dan “terpaksa” berkompromi.
Ini kisah nyata di Indonesia; saya teringat ada beberapa kelompok politik yang “menyandera” rapat di parlemen dengan berulang kali tidak hadir, sebagai bentuk protes terhadap kelompok politik lain yang dinilai “terlalu keras” dalam mengawal anggaran.
Nah, ketiadaan batas minimum partisipasi dalam pemilu tentu harus diperhatikan oleh pemilih. Alih-alih menjadi sikap protes dan “menyandera” pihak lawan, golput justru secara tidak langsung mengukuhkan status quo. Jika niatnya memang ingin “menghukum” status quo, maka memilih lawan yang paling berpeluang menjadi oposisi adalah protest vote yang paling tepat (menurut saya). Tidak seperti golput, suara protes ini masuk dalam rekap perhitungan dan akhirnya akan menentukan hasil pemilu.
Misalnya, dalam sebuah tempat ada 1000 orang dengan tiga partai yang bertarung di pemilu.
Partai A adalah partai berwatak jahat. Pendukungnya 350 orang.
Partai B adalah partai hura-hura. Pendukungnya 300 orang.
Partai C adalah partai anak bawang. Pendukungnya 250 orang.
Masih ada suara yang protes, 100 orang.
Idealnya 100 orang itu buat Partai D. Tapi jika tidak bisa, apa pilihan mereka?
Jika golput, maka yang akan menang adalah Partai A berwatak jahat yang musuh masyarakat (setidaknya, musuh 100 orang itu). Partai A akan mendapatkan 350 dari 900 suara (~40%). Bisa menguasai parlemen!
Tapi jika 100 orang itu memilih Partai B hura-hura, maka mereka bisa menghukum A dengan mengalahkan A dan memenangkan B (40%)! Perolehan suara Partai A akan 350 dari 1000 suara (35%).
Bahkan jika misalnya protest vote itu tidak sepenuhnya ke Partai B, namun terbagi ke B dan C, maka tetap saja A akan “terhukum” dengan turunnya prosentase suaranya (dan ini bisa berakibat pada hilangnya kursi di suatu dapil etc dll).
Perhitungan semacam ini menjadi sangat penting untuk dipahami. Parpol status quonjika menghadapi resistensi yang terlalu kuat, bisa menawarkan alternatif golput ke masyarakat. Dengan demikian, suara masyarakat akan terbuang, tidak menggemukkan lawan parpol status quo tersebut. Inti strateginya: golput is better than voting the others.
Sebaliknya, beberapa parpol yang ingin menggulingkan status quo akan berjuang untuk menyelamatkan setiap suara. Jangan sampai ada yanb golput. Karena itulah dulu pernah ada kampanye bersama PDIP-PPP demi membendung Golkar. Demokrat dan Partai Hijau pun sempat kampanye bersama untuk membendung Republik. Lebih baik memilih partai (non-status quo) lawan, daripada golput atau memilih status quo. Inilah hakikat aliansi antar-parpol, atau melimpahkan suara sisa ke parpol lain (masih boleh nggak ya?)
Karena itu, rekan-rekan, saya kembali menggarisbawahi: selagi tidak ada batas minimum partisipasi dalam sistem pemilu/pilkada/pilpres kita, golput merupakan strategi yang tidak layak guna. Golput tidak akan mampu menyuarakan protes kita, dan setiap suara yang golput berarti akan terbuang sia-sia. Lebih parah lagi, bisa saja suara golput itu tanpa sengaja memenangkan suara Partai A berwatak jahat yang dibenci masyarakat.
Jadi, apalah arti sebuah golput? Banyak artinya, tapi bukan sebagai protest vote!
http://www.nabawia.com
Dalam pilihan strategi, ada strategi yang sifatnya aktif (contending, mediating, problem solving) ada pula yang tidak aktif. Strategi inaction (tidak melakukan apapun) dan withdrawl (mundur dari medan negosiasi) merupakan dua strategi yang pelakunya secara sengaja tidak bergerak aktif. Dalam perhitungan pelaku, dengan bersikap pasif, ia akan mampu menciptakan alternatif perolehan baru yang lebih bagus daripada peluang-peluang perolehan di meja perundingan.
Dalam “medan” pemilu, pemilih dihadapkan pada beberapa opsi tindakan, yang secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok: memilih (aktif) dan tidak (pasif). Masing-masing opsi diyakini mampu menyuarakan kepentingan sang pemilih, sehingga memilih atau golput dianggap sebagai strategi yang “viable” untuk dilakukan.
Dalam tulisan ini, saya berpendapat bahwa golput bukanlah strategi yang viable untuk dilakukan. Syarat strategi agar viable, adalah:
- mampu menyuarakan kepentingan pelakunya
- mampu menghadirkan posisi yang berbeda
Dalam pemilu, suara golput adalah suara yang terbuang. Misal dalam sebuah pemilu 99% golput pun, pemilu tetap akan sah dan pemenangnya ditentukan oleh 1% yang memilih.
Ini jelas berbeda dengan sidang parlemen, yang memiliki batas minimum partisipasi sehingga dinyatakan sah. Dalam sidang parlemen, langkah satu kelompok politik untuk memboikot sidang (tidak hadir, keluar dari forum, protes dsb) menjadi penting. Jika jumlah mereka cukup banyak, kelompok protes ini dapat memaksa terjadinya deadlock dengan terus-menerus menunda sidang. Sikap withdrawl mereka ini secara lantang menyuarakan kepentingan mereka sekaligus memberikan peluang perolehan baru; pada satu titik pihak lawan akan tidak bisa menerima penundaan, dan “terpaksa” berkompromi.
Ini kisah nyata di Indonesia; saya teringat ada beberapa kelompok politik yang “menyandera” rapat di parlemen dengan berulang kali tidak hadir, sebagai bentuk protes terhadap kelompok politik lain yang dinilai “terlalu keras” dalam mengawal anggaran.
Nah, ketiadaan batas minimum partisipasi dalam pemilu tentu harus diperhatikan oleh pemilih. Alih-alih menjadi sikap protes dan “menyandera” pihak lawan, golput justru secara tidak langsung mengukuhkan status quo. Jika niatnya memang ingin “menghukum” status quo, maka memilih lawan yang paling berpeluang menjadi oposisi adalah protest vote yang paling tepat (menurut saya). Tidak seperti golput, suara protes ini masuk dalam rekap perhitungan dan akhirnya akan menentukan hasil pemilu.
Misalnya, dalam sebuah tempat ada 1000 orang dengan tiga partai yang bertarung di pemilu.
Partai A adalah partai berwatak jahat. Pendukungnya 350 orang.
Partai B adalah partai hura-hura. Pendukungnya 300 orang.
Partai C adalah partai anak bawang. Pendukungnya 250 orang.
Masih ada suara yang protes, 100 orang.
Idealnya 100 orang itu buat Partai D. Tapi jika tidak bisa, apa pilihan mereka?
Jika golput, maka yang akan menang adalah Partai A berwatak jahat yang musuh masyarakat (setidaknya, musuh 100 orang itu). Partai A akan mendapatkan 350 dari 900 suara (~40%). Bisa menguasai parlemen!
Tapi jika 100 orang itu memilih Partai B hura-hura, maka mereka bisa menghukum A dengan mengalahkan A dan memenangkan B (40%)! Perolehan suara Partai A akan 350 dari 1000 suara (35%).
Bahkan jika misalnya protest vote itu tidak sepenuhnya ke Partai B, namun terbagi ke B dan C, maka tetap saja A akan “terhukum” dengan turunnya prosentase suaranya (dan ini bisa berakibat pada hilangnya kursi di suatu dapil etc dll).
Perhitungan semacam ini menjadi sangat penting untuk dipahami. Parpol status quonjika menghadapi resistensi yang terlalu kuat, bisa menawarkan alternatif golput ke masyarakat. Dengan demikian, suara masyarakat akan terbuang, tidak menggemukkan lawan parpol status quo tersebut. Inti strateginya: golput is better than voting the others.
Sebaliknya, beberapa parpol yang ingin menggulingkan status quo akan berjuang untuk menyelamatkan setiap suara. Jangan sampai ada yanb golput. Karena itulah dulu pernah ada kampanye bersama PDIP-PPP demi membendung Golkar. Demokrat dan Partai Hijau pun sempat kampanye bersama untuk membendung Republik. Lebih baik memilih partai (non-status quo) lawan, daripada golput atau memilih status quo. Inilah hakikat aliansi antar-parpol, atau melimpahkan suara sisa ke parpol lain (masih boleh nggak ya?)
Karena itu, rekan-rekan, saya kembali menggarisbawahi: selagi tidak ada batas minimum partisipasi dalam sistem pemilu/pilkada/pilpres kita, golput merupakan strategi yang tidak layak guna. Golput tidak akan mampu menyuarakan protes kita, dan setiap suara yang golput berarti akan terbuang sia-sia. Lebih parah lagi, bisa saja suara golput itu tanpa sengaja memenangkan suara Partai A berwatak jahat yang dibenci masyarakat.
Jadi, apalah arti sebuah golput? Banyak artinya, tapi bukan sebagai protest vote!
http://www.nabawia.com