Ust. H. Ahmad Yani, Lc. MA
Urgensi Menjaga Lisan
Satu waktu Rasulullah saw pernah ditanya:“keislamanan bagaimana yang utama? Beliau menjawab: siapa yang perkataan dan perbuatannya menjadikan orang Islam selamat (tidak terganggu). (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain Rasulullah menegaskan diantara keutamaan dan kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat. Sabdanya berbunyi: “Diantara sifat orang mukmin adalah ia menjaga lisannya dalam membahas aib seseorang dan menghindari perkataan kotor”. (HR. At Tirmidzi). “Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”. (QS. Furqaan: 72). Rasulullah bersabda: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau berdiam”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menjaga lisan menjadi perbuatan yang amat mulia dalam islam. Secara sederhana, kebaikan berislam seseorang bisa dilihat dan diketahui dari ucapannya. Karena itu siapa mampu menjaga lisannya, ia berpeluang besar mendapat jaminan rumah di Surga Allah SWT. Sahal bin Sa’ad meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang menjamin untukku (menjaga) antara dua jenggotnya dan antara dua kakinya, niscaya aku jamin untuknya surga.” (HR. Bukhari).
Satu waktu Rasulullah sedang berkumpul bersama para Sahabat, tiba-tiba datang seseorang mencaci Abu Bakar, Abu Bakar diam dan tidak mengomentari. Kemudian kembali ia mencaci Abu Bakar, Abu Bakar tetap diam dan tidak mengomentari. Ketiga kali ia kembali mencaci, maka Abu Bakar mengomentarinya. Kemudian Rasulullah beranjak meninggalkan majelis. Abu Bakar mengikuti Rasulullah dan bertanya: “Apakah engkau marah kepadaku wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: “Malaikat turun dari langit yang menyalahkan perkataan orang tadi, namun saat engkau mengomentarinya datanglah setan, dan aku tidak mendatangi tempat jika di sana setan hadir”.(HR. Abu Dawud).
Betapa pentingnya menjaga lisan, hingga bisa diumpamakan lisan bagai simbol dan icon dari beragam amal perbuatan seseorang. Rasulullah bersabda: “Setiap kali manusia memasuki pagi hari maka seluruh anggota tubuh merendahkan lisan dan berkata kepadanya: takutlah kepada Allah dalam bersama kami, karena kami tergantung kepadamu, jika kamu baik kami ikut baik, dan jika kamu menyimpang kami jadi menyimpang juga”. (HR. At-Tirmidzi).
Sebagaimana hati, sejauh mana penjagaan dan pengendalian terhadap lisan, hal tersebut bisa menjadi ukuran amal perbuatan seseorang. Maka, antara hati dan lisan saling berkaitan dan mempengaruhi amal perbuatan. Rasulullah saw bersabda: “Tidak lurus iman seseorang hingga lurus hatinya, dan tidak lurus hati seseorang hingga lurus lisannya”. (HR. Ahmad).
Menjaga lisan berarti tidak berbicara atau berugkap kecuali dengan baik, menjauhi perkataan buruk seperti kata kotor, menggossip (ghibah), fitnah dan adu domba.
Setiap manusia dimintai pertanggungjawaban atas setiap perkataan dan ungkapannya. Firman Allah berbunyi: “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qaaf: 18).
Batasan (Adab) berbicara dalam Islam:
a. Tidak berbicara kecuali dengan apa yang bisa mendatangkan kebaikan dan manfaat atau mencegah keburukan bagi dirinya atau orang lain.
b. Mencari waktu yang tepat, sebagaimana kata hikmah: “Setiap tempat dan waktu ada pembicaraannya tersendiri”
c. Memilih bahasa yang digunakan. Bahasa bisa menjadi tanda dan cermi bagi akal dan adab seseorang
d. Tidak berlebihan dalam memuci dan mencela. Belebihan dalam memuji adalah bentuk dari riya’ dan mencari muka, dan berlebihan dalam mencela adalah bentuk dari permusuhan dan balas dendam.
e. Tidak membuat manusia menjadi senang dengan mengucapkan apa-apa yang mengundang murka Allah. Sabda Rasulullah saw berbunyi: “Siapa yang membuat manusia senang dengan melakukan perkara yang mendatangkan amarah Allah SWT, maka ia dan urusannya akan diserahkan kepada manusia, dan siapa yang membuat manusia marah karena ia melakukan perkara yang membuat Allah ridha, maka Allah akan menjamin baginya perlindungan dari perlakuan manusia”.(HR. At-Tirmidzi).
f. Tidak mengobral janji-janji yang sangat sulit ditepati. Allah SWT berfirman: “"Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS. As Shaff:2-3).
g. Tidak berbicara keji dan kotor, dan tidak menyimak orang yang berbicara keji dan kotor.
h. Menyibukkan lisan untuk berzikir.
Bagaimana dengan gosip atau ngomongin aib orang atau dalam bahasa agama disebut ghibah? Memang dalam kondisi tertentu ghibah diperbolehkan.
Gosip atau dalam bahasa Islam adalah ghibah pada dasarnya merupakan diantara penyakit lisan yang sangat berbahaya, sehingga Allah SWT mengumpamakan siapa yang menjelekkan dan membicarakan aib seseorang dengan memakan bangkai saudaranya sendiri. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12).
Rasulullah pernah menerangkan maksud dari ghibah: “Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah? Sahabat menjawab: Allah dan rasulNya yang mengetahui itu. Maka Rasul bersabda: engkau menyebut tentang saudaramu dengan apa yang ia benci. Sahabat bertanya: Jika pada dirinya benar apa yang aku katakan. Rasul menjawab: jika yang engkau sebutkan benar-benar ada pada dirinya, itulah ghibah, dan jika apa yang engkau sebutkan tidak ada pada dirinya itu adalah kedustaanmu atasnya”. (HR. Muslim).
Ghibah menghantarkan kepada permusuhan, terputusnya hubungan silaturahim, menanam benih kebencian dan iri hati. Ghibah bisa merusak ibadah seorang Muslim. Muslim yang berpuasa namun melakukan ghibah, pahala puasanya akan lenyap, begitu juga dengan ibadah lainnya. Diriwayatkan bahwa dua orang perempuan berpuasa pada zaman Rasul saw membicarakan aib seseorang. Rasulullah mengetahui hal itu dan berkata tentang mereka: “Mereka berpuasa dari apa yang dihalalkan, tetapi berbuka dengan apa yang diharamkan”. (HR. Ahmad). Maksudnya mereka berdua berpuasa dari makan dan minum yang hukum awalnya adalah halal, tetapi ketika membicarakan aib seseorang Allah SWT tidak menerima ibadah puasa tersebut, seakan mereka membatalkannya.
Namun demikian ada beberapa kondisi seseorang diperbolehkan menyebut aib seseorang, meski dalam batasan yang diperlukan. Kondisi tersebut:
1. Dalam rangka menyampaikan dakwaan perlakuan zalim kepada hakim.
2. Untuk merubah kemunkaran dan mengarahkan seseorang yang berbuat munkar kepada kebaikan, agar ia kembali ke jalan yang benar dan enggan melakukan keburukan. Hal ini boleh dilakukan jika cara nasehat biasa dan upaya menutupi kemungkaran tidak lagi memberi pengaruh baginya untuk merubah perbuatannya.
3. Berbuat dosa dan kemunkaran secara terang-terangan. Siapa yang melakukan kemunkaran secara terang-terangan, maka boleh dilaporkan agar ia bisa tercegah melakukannya.
4. Dalam rangka menjelaskan seseorang. Jika ada orang yang tidak bisa dikenal kecuali dengan menyebut julukan, misalnya fulan si buta, fulan si hitam, dan lainnya. Itu bokeh dilakukan karena tujuan untuk mengenal seseorang, tetapi tidak boleh jika bertujuan menghina dan meremehkan.
Imam Hasan Al-Bashri berkata: “Ghibah tidak boleh dilakukan kecuali tentang tiga orang; orang fasik yang berbuat dosa secara terang-terangan, orang yang menyebarkan bid’ah dan pemimpin yang sewenang-wenang.Wallahu a’lam.
http://www.ikadi.or.id/