Media Benar , membela yang bayar ! Kalimat
itu yang saya ingat ketika mengukuti seminar ilmu komunikasi politik di
kampus. Dalam seminar itu saya belajar bagaimana mengenal seorang
politisi pembohong dari tindak tutur. Lebih menarik lagi, pembicaranya
nih adalah seorang wartawan juga yang kemudian berhenti setelah
bertahun-tahun menggeluti profesinya sebagai wartawan. Materi yang
disampaikan pun cukup memukau, sentak dia mengatakan kepada mahasiswa
“carikan saya di Indonesia Media berita yang Independen?” sambil
menunjuk kepada mahasiswa yang berada di depannya. “Tidak ada media
berita yang saat ini masih Independen, semuanya di tunggangi oleh
politik”. Pembahasan pun berlanjut berjam-jam. Diskusi memanas menusuk
ke sum-sum media dengan segala pernak-pernik bahasa dan kepentingannya.
Dari Seminar ini,
saya akhirnya memahami, betapa media berita sama bejatnya sama koruptor.
Media berita dan segala oknum wartawannya yang terlibat juga
“penjilat”. Saya juga wartawan salah satu media lokal yang akhirnya
keluar dan membangun media sendiri karena tidak ingin terseret dalam
kondisi kemunafikan. Oknum Wartawan dalam media laiknya penjual makanan
yang harus mencari pelanggan untuk memakan menu yang dia sediakan.
Terlepas haram atau tidaknya menu yang disajikan, urusan perutlah yang
lebih utama. Tak jarang para wartawan idealis segera ditendang dari
media yang memiliki orderan besar. Media berita pun tak ingin bangkrut
hanya karena idelaisme seorang wartawan. Hal ini terjadi kepada sala
seorang teman wartwan saya yang kerap kali dipanggil Syam Terajana. Ia
segera keluar dari media dimana dia bekerja hanya karena diminta untuk
mencari pengiklan. Tentu Pengiklan bukan sembarangan, pengiklan yang
punya SK begitulah. Karena ia tidak mau melakukan hal itu, akhirnya dia
hengkang dari media tersebut.
Dari kekecewaan
itulah dia menulis sebuah artikel tanda kekecewaan dengan judul “
Wartawan bukan Pencari Iklan”. Apa inti dari kejadian ini, media berita
benar-benar tidak bisa berlaku adil dan bijaksana dalam pemberitaan.
Jika uang pesangan dari si A lebih besar, maka si A akan
dibesar-besarkan dan lainnya akan dijatuhkan. Hal ini pun bukan terjadi
di tataran media lokal. Tetapi juga di media nasional lainnya. Saya tak
perlu menyebutkan, cukup amati dan idetntifikasi pemilik media itu dan
lihat performanya di saat memberitakan.
Saya akan kaitkan dengan media berita dalam pemberitaan politik. Dalam
rubrik politik ini, pasien yang saya angkat terkait Partai yang sedang
jadi buah bibir Indonesia. Pasien itu adalah si PKS. Silahkan anda
amati keseimbangan pemberitaan dan keberpihakan media di salah satu
parpol. Ketika PKS melakukan sesuatu,oleh media, satu berita tentang
PKS dipecah menjadi 5 sampai 10 angle berita. Hal ini akan terlihat
melebih-lebihkan. Tujuannya pun jelas untuk mendapatkan rating tinggi di
media lain terutama media online yang butuh page Preview yang banyak
untuk mendapatkan peikhlan berkelas juga.
Untuk media Online,
Sebagai contoh IdBlognetwork.com selaku penghubung Instansi dan media
publiser memberikan syarat alexa ranking blog anda dibawah 10,000,000
global ranking. Nah, untuk mendapatkan itu, berbagai media online harus
memecah angle sebanyak mungkin terhadap topik yang hangat. Benar atau
tidak, tidak perduli yang penting dapat pengunjung yang banyak, klik
iklan creeettt…dapet bayaran deh…!!
Hal inilah yang disebut oleh Fahri Hamzah sebagai Wartawan yang memakan
bangkai saudara sendiri. Wartawan rela menyebar berita yang sengaja
anglenya sudah diorder oleh pihak tertentu kemudian dirasionalisakan
menjadi berita. Hal inilah yang disebut oleh media “Bad news is good
news”. Jika demikina kondisi media, maka jangan pernah berharap negeri
ini akan keluar dari keterpurukan.
Pernah kah media
meliput kekayaan Freeport yang dikuasai negeri asing. Beranikah media
menelusuri latar belakang Freeport untuk di publish di media beritanya
agar Rakyat Indonesia tahu. Hal yang terjadi adalah, tulisan mereka yang
kritis bahkan menjadi sampah dalam folder media dan tidak diekspos di
pemilik media. Karena itulah, para kritikus hanya bersuara di blognya
atau web sendiri. Sementara rating media itu masih rendah di mata
Indonesia. Akibatnya berita yang seharusnya rakyat Indonesia tahu tidak
kesampaian.
Media lebih suka
membuka aurat partai lawan dari para sponsornya untuk bisa mendapatakan
bayaran. Kasihan juga saya melihat hal ini. Olehnya itu, saya ingin
menyampaikan kepada pemilik media, cobalah menjadi agent pendidik
masyarakat dengan berita yang mendidik dan benar adanya. Bukan berita
yang sengaja dibuat-buat untuk membentuk persepsi masyarakat terhadap
hal-hal yang goblok.
Terakhir, saya
ucapkan terima kasih kepada team kompasiana yang telah membuka media
ini. Saya masih percaya kompasiana dalam Indepensi media. Buktinya, hari
ini ide saya masih bisa saya sampaikan dengan bebas dan berita apa pun
yang saya ingin tuliskan terpublish dengan bebas. Tentu masih dalam
koridor tertentu.
Mari kita cerdaskan
rakyat dengan media yang sehat dan mendidik. Jangan jual harga diri
media dengan menjual menu berita murahan yang ahanya akan merusak
idealisme media itu sendiri.
Sumber: http://politik.kompasiana.com