JAKARTA (26/5) - Penelantaran jamaah haji dan umroh bukan persoalan baru di Indonesia. Meskipun cukup sering terjadi dan ramai diberitakan, kasus-kasus serupa masih saja terulang. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah memandang perbaikan regulasi perlu dilakukan terkait penyelenggaran ibadah haji dan umroh.
“Saat ini Komisi VIII tengah menggodok RUU Pernyelenggaran Haji dan Umroh sebagai revisi bagi UU Haji No 13 Tahun 2008. Hal ini menjadi penting dilakukan untuk melakukan perbaikan pelayanan bagi jamaah haji dan umroh, termasuk perbaikan dalam hal pengawasan dan pemberian sanksi bagi penyelenggara haji khusus dan umroh bermasalah,” kata Ledia dalam siaran persnya, Selasa (26/5).
Ledia mengingatkan animo masyarakat untuk melakukan perjalanan ibadah ke tanah suci cukup tinggi dan bertambah setiap tahun. Sayang, lanjut Ledia, tingginya peminat haji dan umroh justru membuka kesempatan pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan semata.
“Kezaliman pada jamaah haji dan umroh ini banyak ragamnya. Mulai dari mereka yang benar-benar memberangkatkan jamaah haji dan umroh tetapi dengan memberikan pelayanan buruk, memberangkatkan tapi melakukan penelantaran jamaah di Arab Saudi, hingga yang benar-benar melakukan penipuan dengan mengumpulkan uang calon jamaah tetapi tidak memberangkatkan sama sekali, atau yang menjalankan praktek money game dengan berkedok arisan, MLM (Multi Level Marketing) hingga investasi haji dan umroh,” papar Ledia.
Khusus untuk ibadah umroh, Legislator dari Fraksi PKS ini menyatakan masyarakat Indonesia perlu memberikan perhatian lebih karena dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2008 hanya terdapat 4 pasal terkait penyelenggaraan umroh, dan belum terdapat klausul mengenai pengawasan, sanksi pidana, serta ketentuan yang bisa menjelaskan bahwa penyelenggaran umroh bukan lembaga keuangan atau investasi.
“Perkembangan sebuah undang-undang memang tergantung pula pada perkembangan situasi sosial kemasyarakatan, termasuk munculnya kasus atau problematika di tengah masyarakat. Oleh karena persoalan penelantaran, penipuan, hingga penyalahgunaan izin lembaga penyelenggara haji umroh marak terjadi, maka memasukkan klausul-klausul pengawasan, sanksi pidana, dan batasan-batasan yang jelas bagi lembaga penyelenggaran haji umroh adalah sebuah kebutuhan,” tutupnya.
Keterangan Foto: Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah.
“Saat ini Komisi VIII tengah menggodok RUU Pernyelenggaran Haji dan Umroh sebagai revisi bagi UU Haji No 13 Tahun 2008. Hal ini menjadi penting dilakukan untuk melakukan perbaikan pelayanan bagi jamaah haji dan umroh, termasuk perbaikan dalam hal pengawasan dan pemberian sanksi bagi penyelenggara haji khusus dan umroh bermasalah,” kata Ledia dalam siaran persnya, Selasa (26/5).
Ledia mengingatkan animo masyarakat untuk melakukan perjalanan ibadah ke tanah suci cukup tinggi dan bertambah setiap tahun. Sayang, lanjut Ledia, tingginya peminat haji dan umroh justru membuka kesempatan pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan semata.
“Kezaliman pada jamaah haji dan umroh ini banyak ragamnya. Mulai dari mereka yang benar-benar memberangkatkan jamaah haji dan umroh tetapi dengan memberikan pelayanan buruk, memberangkatkan tapi melakukan penelantaran jamaah di Arab Saudi, hingga yang benar-benar melakukan penipuan dengan mengumpulkan uang calon jamaah tetapi tidak memberangkatkan sama sekali, atau yang menjalankan praktek money game dengan berkedok arisan, MLM (Multi Level Marketing) hingga investasi haji dan umroh,” papar Ledia.
Khusus untuk ibadah umroh, Legislator dari Fraksi PKS ini menyatakan masyarakat Indonesia perlu memberikan perhatian lebih karena dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2008 hanya terdapat 4 pasal terkait penyelenggaraan umroh, dan belum terdapat klausul mengenai pengawasan, sanksi pidana, serta ketentuan yang bisa menjelaskan bahwa penyelenggaran umroh bukan lembaga keuangan atau investasi.
“Perkembangan sebuah undang-undang memang tergantung pula pada perkembangan situasi sosial kemasyarakatan, termasuk munculnya kasus atau problematika di tengah masyarakat. Oleh karena persoalan penelantaran, penipuan, hingga penyalahgunaan izin lembaga penyelenggara haji umroh marak terjadi, maka memasukkan klausul-klausul pengawasan, sanksi pidana, dan batasan-batasan yang jelas bagi lembaga penyelenggaran haji umroh adalah sebuah kebutuhan,” tutupnya.
Keterangan Foto: Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah.
http://www.pks.or.id/