Pada tayangan Indonesia Lawyer’s Club (ILC) bertema “Eksepsi Luthfi: KPK
Bermain Opini?” di TVOne tadi malam (9-7), tuan rumah sekaligus pembawa
acara ILC Karni Ilyas mencetuskan pernyataan spontan, “Hebat-hebat
orang PKS.”
Ungkapan itu disampaikan Karni usai Fahri Hamzah dan Nasir Djamil dari
F-PKS DPR RI menyampaikan argumen penjelas terkait isi nota keberatan
atau eksepsi Luthfi Hasan Ishaaq.
Berikut transkrip potongan segmen ILC yang terekam admin @PKSLampung:
Fahri Hamzah (FH): … Mengapa KPK tidak menangkap Fathanah saat menerima uang dari PT Indoguna? Mengapa waktu dia (AF) sedang bersama perempuan?
Karni Ilyas (KI): Kenapa menurut Anda?
FH: Kalau ketangkap begitu kan lebih heboh. Lebih sensasional. Ini yang saya bilang manufacture fact. Manufacture event. Jadi menciptakan satu suasana yang memang efek medianya lebih sensasional dan luar biasa.
Banyak soal lain yang bisa dikritisi tapi tidak bisa dikritisi karena tidak ada transparansi di dalam penyadapan. Padahal penyadapan itu menurut keputusan Mahkamah Konstitusi harus diatur dengan Undang-Undang. Harus diatur dengan detail karena ini menyangkut human right.
Dimana-mana di dunia gak ada negara demokrasi yang model penyadapannya seperti kita di indonesia ini.
KI: Ya, tapi kan gak berarti KPK menyuruh media-media melakukan peradilan opini tadi. Saya ngga merasa dapat suruhan tuh dari KPK.
FH: Tentu kita (media) pilar dari demokrasi dan tidak mungkin media mau digitukan. Tapi event yang diciptakan bad news is good news. Itu kan juga ideologi media yang bagaimanapun kalo kita belajar retorika itu pasti terjadi. Misalnya, apa urusannya Maharani Suciono dihadirkan ke persidangan. Apa sih peristiwanya. Lalu dia dipanggil lalu dipanggil lagi ke KPK. 2 jam di KPK. Lalu 45 perempuan menerima uang dari Fathanah. Itu apa maknanya?
Kenapa bukan PPATK disuruh membongkar semua rekeningnya Fathanah? Lalu diumumkan semuanya kalau memang kita betul-betul menganggap Fathanah adalah penjahat lalu semua kejahatannya kita buka ke publik. Siapapun yang kena kita sikat.
Kenapa bukan Yudi Setiawan rekeningnya dibongkar habis baik hasil dari Bank Jabar, Bank Jawa Timur lalu hasil kejahatan dari Kalimantan Selatan itu dibuka semuanya lalu kita melihat oh ini kena semuanya nih. Kenapa ditutup? Kenapa yang dibuka yang kena ke orang-orang di PKS? (wonder … audience applause, red.).
Kenapa menyembunyikan sesuatu lalu membuka yang ada kepentingan-kepentingan tertentu.
Kita tidak punya kendali atas apa yang dilakukan KPK. Dan KPK jelas tidak mengikuti aturan. Waktu kasus mengambil mobil di DPP PKS jelas SOP-nya sendiri dilanggar. SOP-nya yang meski kita pernah dikasih di Komisi III, meskipun di depannya tertulis: dilarang mengkopi dsb itu. Padahal itu SOP yang kopi KUHAP. Sebenarnya orang semuanya harus punya akses karena itu mengatur kehidupan orang lain di luar KPK.
Kalau menurut saya, KPK justru menjadi fundamentalis penegakan hukum . Lalu fundamentalisme hukum ini dianut oleh orang dan kelompok-kelompok jaringan tertentu sedemikian rupa sehingga diposisikan KPK tidak mungkin salah. Karena dalam 8 atau 10 tahun persidangan memang kenyataannya KPK selalu menang.
Tapi pilarnya menyatu bahkan dulu memang hakim Tipikor itu memang ngantornya di KPK. Jadi pilarnya menyatu lalu peran lawyernya dilemahkan. Padahal seharusnya dia diperkuat karena dia mewakili rakyat. Caranya dengan hadirnya UU Advokat. Tapi itu dilemahkan.
Mohon maaf saya ungkap lagi Fathanah habis ditangkap Novel (Baswedan, penyidik KPK) bilang “Kamu harus ngaku ini uang untuk ustadz kamu! Ini uang untuk ustadzmu!”
Dia (AF) bilang “Enggak, ini uang untuk saya kok.” Kata Fathanah begitu. “Saya miskinkan kamu! Saya miskinkan kamu!”
Ini pengakuan Fathanah, ya. Saya dengar langsung. Mudah-mudahan nanti di persidangan jadi saksi, ya dia buka itu.
Tapi menarget Luthfi sejak awal untuk penangkapan itu memang diniatkan. Dan saya minta bisa nggak sadapan supir dan sadapan ngambil uang di lobi itu dibuka? Ini yang kita tidak tahu kendalinya.
Bagaimana caranya sadapan ini? Wong penyadapannya dilakukan tanpa prosedur publik. Sadapan itu dilakukan untuk kepentingan yang tertutup. Menurut saya KPK menggabungkan operasi intelijen dll di penegakan hukum – (suara sempat ngilang ya Bang FH …, red.)
KI: Ini (eksepsi LHI) pengacara yang bikin atau Bung Fahri yang bikin? (Applause. LOL)
– Pasca rehat lalu lanjut di segmen yang berbeda –
FH: Mentan Suswono berhasil swasembada sapi potong hingga mendapat penghargaan dari FAO. Kalau Suswono mau korupsi, ngapain dia bikin peraturan yang mempersulit prosedur impor? Itu yang harusnya jadi akal sehat. Kementerian Pertanian ini harus diapresiasi. Ini (Kementan) orang-orangnya mau transparan. Tapi karena dihajar gini, ya rusak.
Publik tidak melihat yang sebenarnya.
Jadi tujuan pemberantasan korupsi juga meleset. Dari seharusnya tujuan memperbaiki sistem, kepada tujuan mau rame-rame saja. Dan mohon maaf. Semua yang dilakukan saat ini tahap demi tahap di belakangnya menduga ada PR (public relation) di dalamnya. Ada pencitraan berikutnya.
Dan itu yang saya takutkan. Ini sudah berubah. Bukan ke arah penegakan hukum yang memberikan kepastian, rasa keadilan, kemanfaatan, tapi mengarah pada festival, rame-rame supaya ada lembaga yang ditepokin sendiri. Boleh lembaga lain hancur semua. DPR hancur, polisi hancur, jaksa hancur. Yang penting lembaga ini hebat satu-satunya. (applause …)
KI: Oke. Boleh gantian dengan rekan satu fraksi?
Nasir Djamil (NJ): Jadi sebenarnya Bang Karni, kekuasaan itu kan harus dibatasi dan diawasi. Kalau ada kekuasaan yang tidak mau dibatasi dan diawasi, saya pikir ini kekuasaan yang akan memberikan kesengsaraan pada manusia.
Karenanya proses pemidanaan menurut saya juga tidak dimaksud untuk menderitakan dan merendahkan harkat martabat manusia. Kalau kemudian pemidanaan dimaksud atau disetting untuk menderitakan kemudian merendahkan martabat manusia seperti dikatakan Bung Fahri bahwa seolah-olah yang terjadi adalah bagaimana semua orang ini penjahat dan harus dihukum.
Sebagai anggota Komisi III yang juga mitra KPK, saya membaca nota keberatan atau eksepsi LHI ini, sebenarnya meskipun judulnya “Bersalah Sebelum Vonis, Menghukum Dengan Peradilan Opini” itu tidak dimaksud kemudian menyalahkan media. Bukan.
Tapi memang dalam prakteknya kita sadar juga bahwa yang namanya isu korupsi bercampur isu perempuan menjadi sangat hot beritanya. Penuh sensasi.
Karenanya menurut saya, dalam eksepsi ini banyak hal yang perlu dicermati bersama. Misalnya terkait bagaimana penasihat hukum LHI mendefinisikan “tangkap tangan”. Bagaimana menilai penyitaan yang dilakukan KPK.
Pakar pidana pencucian uang seperti Mba Yeti juga mengingatkan agar penyitaan aset ini juga tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Harus diperhatikan waktu dan besaran. Besaran uang yang diduga terkait pidana pencucian uang.
Misalnya ketika dikembalikan lagi Fortuner oleh KPK. Saya katakan penyitaan aset itu pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius. Ketika disita lalu dikembalikan, itu menjadi bagian dari nota keberatan yang disampaikan pihak LHI.
Belum lagi tentang keberadaan Pengadilan Tipikor. Yang merujuk pada UU Pengadilan Tipikor berasal dari pasal yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Ini juga menarik. Makanya nanti kami di Komisi III juga akan mempertanyakan kepada Mahkamah Agung mengenai Pengadilan Tipikor di Jakarta Pusat ini.
Jadi kembali ke persoalan yang saya katakan tadi bahwa kekuasaan memang harus dibatasi dan diawasi.
Terkait penyadapan, kalau tidak dibatasi, tidak diawasi, maka ini akan kemana-mana dan privasi orang akan terganggu. Bayangkan jika misalnya tadi juga disampaikan Bung Fahri, di pengadilan terbuka semua hal yang tidak ada kaitannya dengan pidana itu sendiri.
Nah karenanya Bang Karni, apapun ceritanya, kita ingin agar pemberantasan korupsi benar-benar on the track. Dan sekali lagi saya berharap proses tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan kemudian merendahkan. Walaupun argumen kita untuk memberikan efek jera, dsb.
Kalau bisa memberikan efek jera, saya pikir tidak ada di negeri manapun kecuali di Indonesia, bupatinya ditangkap, walikota ditangkap, gubernur ditangkap, pengusaha ditangkap, hampir semua ditangkap dijebloskan ke dalam penjara karena kasus-kasus korupsi. Bahkan hampir 90% kepala daerah tersangkut kasus hukum dan 80% kasus korupsi tapi indeks prestasi (penanganan) korupsi kita, IPK kita tidak naik-naik. Tetap saja tidak seperti yang kita harapkan.
Seharusnya dengan 10 tahun KPK ada harapan bagaimana IPK di Indonesia ini bisa lebih baik.
KI: Bagaimana IPK mau lebih baik. Bupati yang menggantikan bupati yang korupsi ternyata korupsi juga.
NJ: Saya pernah baca satu artikel, kegagalan Badan Anti Rasuah di sejumlah negara karena mereka terlalu fokus pada penegakan hukum. Lupa bagaimana melakukan pencegahan.
Akibatnya apa? Akibatnya kita ga berusaha menutup peluang-peluang orang untuk melakukan korupsi. Bahkan kalau kita mau jujur, di KPK sendiri yang namanya Deputi Pencegahan yah caranya sosialisasi, pasang spanduk, poster dsb.
Tidak ada upaya membangun sistem yang membuat kemudian orang yang punya kesempatan tidak berani melakukannya. Bukan karena adanya kesadaran, tapi karena sistemnya membuat dia tidak bisa melakukan itu.
KI: Baik. Hebat-hebat orang PKS. Kita rehat sejenak...
*sumber: www.pkslampung.org/?p=890