وَالأَصْلُ فِي الْمَبْنِيِّ أَنْ يُسَكَّنَا
Asal dalam ke-mabni-an ialah dihukumi sukun.
(Ibn Malik Al Andalusy, Alfiyah: Bait XXI)
Ketika Jamaluddin ibn ‘Abdillah ibn Malik Ath Thay menyusun seribu bait
syair menyejarahnya, tujuan beliau adalah untuk menghimpun semua Kaidah
Nahwu (Tata-Susun) dan Sharaf (Tata-Bentuk) Bahasa Arab; menjelaskan
berbagai kerumitan dengan bahasa yang ringkas, padat, dan indah; serta
membuat pelajaran Lughah ini menjadi asyik dan menarik.
Tetapi sebagaimana “Adab” yang dapat berarti “Sastra” menjadi kata dasar
bagi “Peradaban”, maka Alfiyah Ibnu Malik yang penuh berkah hingga
disyarah lebih dari 40 ‘Ulama itu tak hanya sekedar menjadi kaidah
berbahasa, melainkan juga kaidah berperadaban.
Di antara hal itu, kita kutip secuplik dari Bab Mu’rab dan Mabni di awal
tulisan ini. Kutipan “Wal ashlu fil mabniyyi an yusakkana” bermakna
bahwa bentuk asli dari Mabni adalah tersukun pada akhir kalimah, sebab
ia merupakan syakal yang paling ringan. Oleh karena itu ia bisa masuk
pada Kalimah Isim, Fi’il, maupun Harf.
Bukan di sini agaknya tempat berkerut-dahi dengan kaidah berbahasa.
Izinkan kami meloncat ke pemaknaannya bagi hidup keseharian kita, bahwa
dengan sedikit mengubah harakatnya kita akan membaca kaidah ini
teterjemahkan sebagai, “Asal dalam bangunan adalah agar ia ditempati.”
Maka sungguh benar; ketika manusia hari ini membangun rumah, istana, dan
gedung bukan untuk ditempati melainkan sebagai investasi, ia menjadi
bencana tak cuma di akhirat, tapi telah tercicip kerusakan sejak di
dunia. Tak ada ahli ekonomi yang menyangkal bahwa krisis ekonomi 1997
terpicu dari soal properti di Korea dan Thailand, lalu ada subprime
morgage di Amerika, hingga Burj Dubai dan kredit hipotek di Eropa. Semua
terjadi karena manusia tak lagi menghayati “Asal dalam bangunan adalah
agar ia ditempati.”
Para pendahulu kita yang shalih bukan hanya mentaati kaidah ini. Bahkan
terhadap rumah yang benar-benar ditempati , tak lepas hati mereka dari
was-was bahwa kediaman perehatan di dunia yang sementara itu akan
melalaikan dari kampung akhirat yang abadi. Di hati mereka terus
berdengung ayatNya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian.”
“Aku tak suka memperindah rumahku kecuali sekadar memuliakan tamu”, ujar
‘Abdullah ibn ‘Umar suatu kali, “Sebab ia membuatku mencintai dunia,
melalaikan akhirat, memberatkan langkah ke Masjid, dan memalaskan jiwa
dari jihad fi sabiliLlah.”
Imam Ath Thabrani mengetengahkan riwayat dari Abu Juhaifah, bahwa
RasuluLlah ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Dunia akan dibukakan
kepada kalian, hingga kalian menghiasi rumah sebagaimana Ka’bah dihias.
Kalian pada hari ini lebih baik dibandingkan pada hari itu.” Syaikh Al
Albani mengesahkan hadits ini dalam Shahih Al Jami’, no 3614.
Betapa jauh kita hari ini dari petunjuk RasuliLlah dan teladan
orang-orang yang diridhaiNya. Betapa bangga kita tentang seluas apa,
sejumlah lantai, seharga berapa, senyaman apa, dan bagaimana
mempercantiknya. Tanpa sadar bahwa rumah abadi kelak kita di akhirat
belumlah dipasang batu pertamanya.
“Kesimpulan dari para ahli ilmu tentang menghias dan memperindah rumah
adalah”, tulis Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid dalam Akhthar
Tuhaddidul Buyut, “Bahwa ia bisa makruh atau haram. Sebab di dalamnya,
terdapat penyia-nyiaan harta dan kebergayutan hati terhadap dunia.”
Hari ini kita mengenang seorang wanita mukminah yang ditunjuk Allah
menjadi teladan sepanjang zaman. Dia yang memilih Allah sebagai
tetangganya, sebelum meminta padaNya rumah sejati. Dia yang memilih
sebuah majlis kecil untuk bermesra dengan Sesembahannya, ketika suaminya
memimpin dunia dengan keangkuhan dan kelaliman dari kemegahan mahligai
istana dan singgasana. Hari ini kita merenungkan doanya yang bersahaja.
“Duhai Rabbi, bangunkan untukku di sisiMu, sebuah rumah di surga itu.” (Qs. At Tahriim [66]: 11)
Lebih dari Asiyah, hari ini kita amat berhajat memohon rumah sejati,
rumah abadi. Rumah yang sejak kini telah menjadi peraduan hati,
memulihkan taat setiap kali kita tertatih. Agar ia menjadi tempat
berteduh jiwa kita dari terik dan derasnya dunia. Agar kita yakin selalu
bahwa hidup ini hanya persinggahan sejenak dan seberangan selintas.
Agar di sana tersimpan segala puji-puji yang orang beri, sedang kita tak
layak menerima. Agar ruh kita tentram dalam perjuangan ini, walau
lelah-luka dan lara-duka menyobek raga.
Hari ini kita amat berhajat memohon rumah sejati, rumah abadi, di sisi
Rabb Yang Maha Tinggi. Dan meminta pertolonganNya untuk mengetuk pintu
rumah itu sejak kini, dengan bakti tak henti-henti.
sepenuh cinta, {dimuat dalam Hidayatullah-Juni}
salim a. fillah
__
http://salimafillah.com/rumah-sejati-kita/