Adanya kejanggalan proses penahanan Ustadz Lutfi Hasan Ishaaq (LHI)
yang dilakukan KPK yang terlalu terburu-buru dan sangat terlihat
memaksakan membuat berbagai kalangan meragukan Profesionalisme KPK,
bahkan ada yang mengungkapkan KPK sengaja melakukan kriminalisasi ke LHI
dengan tuduhan yang mengada-ada dan tidak jelas.
Sampai saat ini
LHI tidak terbukti menerima uang suap, bahkan Ahmad Fathanah sendiri
sudah menerangkan dalam kesaksiannya pekan lalu bahwa tidak ada uang
yang mengalir ke PKS dan LHI, namun KPK telah menjerat eks-Presiden PKS
ustadz Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dengan pasal Tindak Pidana Pencucian
Uang (TPPU).
Salah seorang Pakar Hukum Profesor Romli Atmasasmita
bahkan mengatakan bahwa KPK terlalu dini/terburu buru dan ceroboh dengan
melakukan penahanan LHI.
Stasiun televisi Beritasatu berhasil mewancarai Profesor Romli yang dilaksanakan pada hari Jum’at (24/5/2013).
Berikut isi wawancaranya:
Beritasatu: Prof, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dahsyatnya seperti apa sih sebenarnya?
Prof Romli:
Jadi begini, salah satu strategi membangun pemerintahan yang bersih,
yang baik, bisa juga yang fair dan kompetitif kita memerlukan sesuatu
ketentuan-ketentuan yang tidak ada di UU Tindak Pidana Korupsi
(TIPIKOR). UU TIPIKOR hanya pada orang dan bagaimana mengembalikan
kerugian Negara, tapi persoalan hasil dari tindak pidana korupsi tidak
diatur di sana. Jadi ini ada lubang, kita masukkanlah Undang-Undang
Pencucian Uang yang sudah 2 kali perubahan dan ini yang ke-3, maksudnya
untuk mempertajam kukunya supaya lebih keras.
Siapa pun penyidik
baik pidana korupsi maupun yang lainya (terutama KPK), penyidik tidak
bisa langsung menyidik cuci uang walaupun ada indikasi. Bahkan dalam UU
pencucian uang yang sebelumnya tahun 2002, penyidik asal tidak dapat
menyidik cuci uang, kecuali polisi. Setelah ada perubahan tahun 2003
juga demikian, belum ada pembuktian terbalik. Kemudian disempurnakan
tahun 2010 bahwa penyidik asal boleh melakukan penyidikan cuci uang
sekaligus dan pembuktian terbalik.
Beritasatu: Jadi
persoalannya adalah pembuktian ya Prof, kalau yang menjerat Ahmad
Fathanah bagaimana? Pasal yang menjerat Ahmad Fathanah adalah: PASAL 3
ATAU PASAL 4 ATAU PASAL 5 UU PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TPPU JO. PASAL
55 AYAT 1 KE-1 KUHP. Pasti anda lebih hafal yah Prof? hahaha. Bagaimana
komentar anda?
Prof Romli: Ini data dari mana ini?
Beritasatu: Ini dari sumber informasi yang disampaikan oleh juru bicara KPK Johan Budi.
Prof Romli:
Ooo, saya kira terlalu pagi, Johan Budi berbicara itu. Terlalu paginya
begini: kita lihat Tipikor itu sasarannya yang utama adalah
penyelenggara Negara, bisa orang maupun korporasi. Kita lihat dari
lahirnya, jauh sebelum ada UU tipikor ada UU No.28 tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN, di situlah sasaran
tindak tipikor kalau kita ingin membersihkan Negara ini. Maka dari itu,
penyelenggara Negara baik dari presiden sampai turun sampai level bawah,
tidak ada swasta. Kecuali kalau swasta berkolaborasi dengan pejabat
Negara, itu jelas.
Jadi pertama siapa orang itu, walaupun dia
banyak uang namun dia swasta, tidak ada tindak pidana lain selain memang
dia berbisnis itu juga belum tentu.
Beritasatu: Dalam kasus Ahmad Fathanah itu kan harus dibuktikan itu dulu kan Prof? Dari kacamata Anda bagaimana?
Prof Romli:
Dari kacamata saya, secara keilmuan: ini kan tertangkap tangan, yang
tertangkap tangan siapa? Ahmad Fathanah. Kemudian dia itu swasta bukan,
kalau dilihat dia itu broker/calo/makelar. Memang makelar belum pernah
diatur dalam Undang-Undang Tipikor, kecuali kalau makelar itu ikut
membantu, membujuk, maka pakailah pasal 55 itu, bukan pasal cuci uang.
Beritasatu:
Artinya terlalu dini pasal itu dikeluarkan? Tapi kalau tidak dilakukan
seperti itu, apa tidak khawatir nanti tidak bisa dijerat?
Prof
Romli: Begini, strateginya kalau UU tipikor itu disebut juga, kalau
penyidik yang mempunyai dugaan tindak pidana korupsi sebanyak pasal 2
ayat 1, 26 pidana asal predicate offence, maka dia boleh meneruskan
apalagi kalau sudah ada hasilnya, dugaan hasil tindak pidana dinikmati,
maka bisa langsung ke cuci uang. Jadi paling tidak harus mempunyai 2
alat bukti untuk mengatakan ada tindak pidana korupsi.
Beritasatu:
Prof, kalau bicara soal alat bukti, sebenarnya jangan-jangan KPK juga
sedang meraba-raba dan mencari-cari alat bukti sambil meraba-raba pasal
juga yang paling cocok nih. Hehe?
Prof. Romli: Tadi kan sudah diberi tahu, hehe
Beritasatu: Tadi anda katakana terlalu dini, jadi yang benar yang mana Prof?
Prof. Romli:
Tadi kan kelihatan, kalau itu betul yah pasal-pasalnya, itu Pasal UU
Tipikornya tidak ada, yang ada pasal cuci uangnya kan. Dikaitkan dengan
pasal 55 KUHP, berarti kan kejahatan asalnya belum jelas. Jadi
bukti-bukti permulaan tipikornya belum jelas.
Beritasatu: Apakah tidak bisa dikembangkan ke pasal lain dari situ?
Prof. Romli: Tidak boleh
Beritasatu: Kenapa tidak boleh?
Prof. Romli:
Tidak boleh, justru menurut pasal 2 ayat 1, sangkaan awal harus jelas.
Pasal 2 menyatakan bahwa tindak pidana sampai 26, ada suap, korupsi dll.
Tapi ingat, dari 26 jenis itu tidak ada tindak pidana di bidang
pertanian. Kehutanan ada, perikanan ada, pertanian tidak ada. Kalau KPK
menggunakan tuduhan korupsi, korupsi yang mana? Korupsi kan banyak, ada
pasal 2, pasal 3, pasal 5, pasal 11.
Beritasatu: Tapi, kenapa itu yang dipakai KPK Prof? Pasal-pasal tadi, tentang cuci uang.
Prof Romli: Berarti kalau KPK hanya bisa menyampaikan tuduhan pasal cuci uang, pasal tindak pidana asalnya masih dicari.
Beritasatu: Kalau masih dicari asalnya, tidak bisa dikembangkan ke yang lain?
Prof. Romli: Tidak bisa
Beritasatu: Lalu bagaimana kasus ini bisa diungkap dengan menjerat orang-orang yang menjerat tindak pidana korupsi itu?
Prof. Romli:
Jadi begini, saya juga prihatin. Prihatinnya begini, tindak pidana
asalnya, kelihatannya KPK masih mencari, belum ada bukti yang kuat
mengatakan apa korupsi, korupsi pasal berapa itu juga belum jelas, kalau
misalnya tindak pidana penyuapan juga belum jelas pasal penyuapan yang
mana pasal berapa, semua belum jelas tiba-tiba pasal cuci uang nya.
Terlalu
dini juga diungkap kepada public aliran dana Fathanah ke mana-mana,
karena begini: untuk mengatakan bahwa seseorang menerima tindak pidana,
harus jelas tindak pidananya apa dulu. Harus jelas, bukan harus
dibuktikan. Kalau sudah jelas, aliran ke mana-mananya baru boleh
diungkap. Masalahnya alat bukti KPK bahwa ada unsur pidana belum
kelihatan. Kalau dari 7 kasus pencucian uang seperti Waode, itu pelaku.
Baru kali ini KPK berani menyeret orang yang menerima. Apalagi Presiden
PKS, itu masih jauh lah, apalagi menteri Pertanian Suswono masih sangat
jauh.
Berita satu: Prof, kalau kita kaitkan dengan UU 31 tentang korupsi pasalnya sudah tepat belum? Pasal 12, pasal 5?
Prof. Romli:
Pasal 12 bisa saja, tapi kan tidak muncul sampai sekarang, karena
sasarannya penyelenggara Negara. Lutfi Hasan Ishaaq itu memang
penyelenggara Negara, namun dia itu anggota DPR, tugas DPR apa itu:
menyusun UU, pengawasan, APBN. Dia tidak mengeluarkan Quota, ga punya
kebijakan kearah sana.
Beritasatu: Tapi kan Lutfi bisa mempengaruhi?
Prof.
Romli: Bisa mempengaruhi ia, namun kalau hanya mempengaruhi, cek dulu
di UU tipikor ada ngga tidak pidana mempengaruhi? Yang sering disebut
oleh Bambang Widjjoyanto tentang Trading in Influence. Belum ada itu.
Sudah diratifikasi, belum diundangkan, belum sah menurut system hukum
kita .
Berita satu: Jadi tidak bisa dipakai KPK menjerat Lutfi Hasan Ishak yah Prof?
Prof . Romli: Tidak bisa.
Beritasatu:
Prof, jangan-jangan ini ada upaya pembalikan fakta terkait dengan kasus
yang sedang diusut oleh KPK ini. Kalau demikian apakah KPK masih bisa
dipercaya kalau pasal-pasal yang diajukan KPK sendiri, anda masih
meragukan?
Prof Romli: Terus terang saya masih ragu,
Beritasatu: Ragu ke pasal nya atau ragu ke KPK nya? hehe
Prof. Romli: Ragu ke cara kerja KPK nya.
Beritasatu: Ataukah ini strategi prof?
Prof. Romli:
Wallahu a’lam. Yang jelas selama ini KPK selalu berhasil untuk tipikor
lho. Tapi untuk cuci uang kan yang terbukti karena sebelumnya itu
pelaku, bukan penerima. Yang pelaku kan otomatis dia umpetin, tapi kalau
yang menerima? Nah kasus Pa Lutfi Hasan Ishaaq ini baru pertama nih KPK
menuduh sebagai penerima.
Jadi begini: yang menerima itu ada
pasal 5 ayat 1 UU Pencucian Uang berbeda dengan pasal 3 dan 4, itu
aktifkan. Tapi kalau dikenakan ke LHI itu Pasif kan. Kemudian
pertanyaannya, apa penjelasannya. Penjelasannya begini: setiap orang
yang bisa diduga menerima uang haram secara pasif, tapi dia itu harus
mengetahui ada transaksi yang melanggar hukum, dia harus punya keinginan
untuk menikmati uang, dia punya tujuan untuk mendapatkan.
Kemudian
yang perlu dicermati juga, dalam pasal 11 dalam UU TPPU, pejabat PPATK,
penyidik, penuntut, tidak boleh memberikan keterangan mengenai segala
sesuatu dalam proses penyidikan cuci uang sampai semuanya terbukti.
Namun dalam kasus LHI ini, belum apa-apa sudah dibuka lebar. Dan ancaman
pidana bagi pihak yang membocorkan itu 4 tahun penjara.
Beritasatu: sekali lagi prof, kalau ini semua digunakan KPK untuk mengungkap kasus?
Prof. Romli: tidak bisa, bukan itu caranya.
Beritasatu: Apakah KPK terlalu gegabah?
Prof. Romli: Menurut saya tanda petik, ya, ceroboh. Yang menjadi pertanyaan, ada apa tergesa-gesa?
Untuk
LHI, sebagai penyelenggara Negara, dalam UU 28 dan 29 diatur bahwa
mengatakan sejak dia diangkat sebagai penyelenggara Negara, harta
kekayaannya itulah yang harus diklarifikasi ke depan, bukan ke belakang.
Beritasatu:
Prof. Saya ingin mengakhiri diskusi kita dengan satu pertanyaan untuk
menjawab tanda besar tadi apakah menurut Anda dari kacamata Anda, dari
perspektif Anda, jangan-jangan sebenarnya kasus ini hanya membuat
momentum situasi saja sampai 2014 selesai, dimana kasus ini memang sudah
jelas ujungnya ke mana atau buat mabok-mabok saja.?
Prof. Romli: Begini, pertanyaan itu bisa dijawab oleh perkembangan hasil KPK, output KPK nanti.
Berita satu: Nantinya itu kapan?
Prof. Romli: Ya Wallahu a’lam, Tanya KPK.
Beritasatu: bisa lebih cepat atau selesai pemilu?
Prof. Romli:
kalau orang itu ditahan, KPK terbatas oleh batas waktu penahanan 20
hari, 30 hari, nah itu. Kita lihat saja nanti. (usb/ismed/kabarpks)
Video wawancara: Youtube.com