Ketua
Panja RUU Jaminan Produk Halal (JPH) H. Jazuli Juwaini menegaskan DPR
akan mengokohkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai satu-satunya
lembaga yang berhak mengeluarkan fatwa sekaligus sertifikat halal.
"Mengokohkan peran MUI itu bukan berarti mengabaikan ulama NU. Siapa yang tidak kenal dengan KH. Sahal Mahfuhz, KH. Ma’ruf Amin, dan KH. Ali Mustofa Ya’qub ? Semua itu itu kan ulama NU. Jadi, tak benar, kalau mengokohkan MUI tidak mengakomodir ulama yang lain,” kata Jazuli Juwaini dalam diskusi RUU JPH bersama Direktur LP POM MUI H. Lukman Hakim di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (28/5/2013).
Menurut Jazuli, selain untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepastian halal lahir-bathin, syariah dan akidah kepada konsumen, khususnya umat Islam, RUU ini hanya memberi ruang kepada masyarakat untuk membentuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), yang bisa dilakukan swasta, yang teknis dan prosedurnya akan diatur.
“LPH ini hanya sebagai pemeriksa, tapi untuk fatwa halal tetap oleh MUI dengan rapat diperluas tersebut. Sehingga sertifikat halal pun tetap melalui MUI,” ujarnya.
Menurutnya, LPH itu bukan lembaga yang menetapkan dan mengeluarkan fatwa dan sertifikat halal, melainkan sebatas sebagai pemeriksa.
RUU JPH ini sudah dibahas pada periode DPR sebelumnya (2004-2009), tapi belum selesai. Tapi, setelah mencermati perkembangan zaman, agar masyarakat tidak bingung, maka pembahasan RUU JPH ini dilanjutkan.
Lukman Hakim membantah jika ada motif bisnis dalam sertifikasi halal MUI selama ini. Sebab sejak 24 tahun silam ketika MUI dipimpin oleh alm. KH. Hasan Basri, melalui alm. Menag Tarmizi Taher, mendapat instruksi dari alm. Presiden Soeharto, untuk memberikan ketenangan kepada umat di tengah kebingungan adanya isu babi dalam suatu makanan, dan kosmetika.
“Satu contoh produk mie saja, yang setiap tahunnya senilai Rp 2 miliar/tahun, biaya sertifikasinya kurang dari satu persen. Kecil sekali. Tak ada unsur bisnis,” katanya.
Tapi, menurut Lukman, kalau DPR RI menghendaki lembaga sertifikasi halal MUI itu dibawah Kemenag RI, namun bagi MUI sendiri karena lembaga ini menyangkut banyak kementerian, dan luar negeri, maka seharusnya di bawah Presiden RI.[tribun/im]
"Mengokohkan peran MUI itu bukan berarti mengabaikan ulama NU. Siapa yang tidak kenal dengan KH. Sahal Mahfuhz, KH. Ma’ruf Amin, dan KH. Ali Mustofa Ya’qub ? Semua itu itu kan ulama NU. Jadi, tak benar, kalau mengokohkan MUI tidak mengakomodir ulama yang lain,” kata Jazuli Juwaini dalam diskusi RUU JPH bersama Direktur LP POM MUI H. Lukman Hakim di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (28/5/2013).
Menurut Jazuli, selain untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepastian halal lahir-bathin, syariah dan akidah kepada konsumen, khususnya umat Islam, RUU ini hanya memberi ruang kepada masyarakat untuk membentuk Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), yang bisa dilakukan swasta, yang teknis dan prosedurnya akan diatur.
“LPH ini hanya sebagai pemeriksa, tapi untuk fatwa halal tetap oleh MUI dengan rapat diperluas tersebut. Sehingga sertifikat halal pun tetap melalui MUI,” ujarnya.
Menurutnya, LPH itu bukan lembaga yang menetapkan dan mengeluarkan fatwa dan sertifikat halal, melainkan sebatas sebagai pemeriksa.
RUU JPH ini sudah dibahas pada periode DPR sebelumnya (2004-2009), tapi belum selesai. Tapi, setelah mencermati perkembangan zaman, agar masyarakat tidak bingung, maka pembahasan RUU JPH ini dilanjutkan.
Lukman Hakim membantah jika ada motif bisnis dalam sertifikasi halal MUI selama ini. Sebab sejak 24 tahun silam ketika MUI dipimpin oleh alm. KH. Hasan Basri, melalui alm. Menag Tarmizi Taher, mendapat instruksi dari alm. Presiden Soeharto, untuk memberikan ketenangan kepada umat di tengah kebingungan adanya isu babi dalam suatu makanan, dan kosmetika.
“Satu contoh produk mie saja, yang setiap tahunnya senilai Rp 2 miliar/tahun, biaya sertifikasinya kurang dari satu persen. Kecil sekali. Tak ada unsur bisnis,” katanya.
Tapi, menurut Lukman, kalau DPR RI menghendaki lembaga sertifikasi halal MUI itu dibawah Kemenag RI, namun bagi MUI sendiri karena lembaga ini menyangkut banyak kementerian, dan luar negeri, maka seharusnya di bawah Presiden RI.[tribun/im]
sumber : http://www.islamedia.web.id/