Harmoni. Kata ini
mungkin, sekali lagi mungkin, sudah sering diungkapkan Anis Matta
(Presiden PKS), di hadapan kader-kader partai berlambang bulan sabit dan
padi. Namun, penjelasan yang bisa didengar pertama kali oleh publik,
kiranya saat Anis berbicara di hadapan kader-kader PKS Jawa Tengah,
yang direkam serta diunggah ke you tube.
Di sana Anis mengatakan, bahwa kata itu (harmoni) merupakan core value bangsa Indonesia. Dicontohkan Anis, saat Sukarno menggagas Pancasila, ide dasar Sukarno adalah harmoni.
Mungkin hal tersebut
tidak ada yang membantahnya. Namun muncul persoalan ketika Anis
mengatakan bahwa harmoni itulah yang membedakan masyarakat Indonesia
dengan masyarakat-masyarakat lainnya di dunia. Apakah memang demikian
adanya?
***
Apabila peradaban dunia saat ini dibagi menurut clash civilization-nya
Huntington, maka dunia saat ini terbagi dua, yaitu Barat dan Timur.
Masing-masing memiliki filsafatnya sendiri, berbeda satu dengan yang
lainnya.
Salah satu kekhasan
filsafat timur di hadapan filsafat barat adalah, wacananya tentang
harmoni. Ya, harmoni. Boleh diperiksa bagaimana filsafat India, Cina,
dan Jawa berbicara harmoni. Ambil contoh, dari daratan Cina. Siapa yang
tidak kenal dengan filsafat Yin Yang? Bukankah itu suatu filsafat
tentang keseimbangan dan kesetimbangan, atau harmoni? Tidak perlu
menambahkan contoh yang lain, kiranya filsafat Yin Yang itu, sudah lebih
dari cukup untuk menyatakan bahwa sesungguhnya harmoni itu bukanlah
semata-mata keistimewaan value bangsa Indonesia.
Karena itu, mungkin bisa dipertanyakan, mengapa Anis Matta mengatakan bahwa harmoni itu core value khas masyarakat Indonesia, yang membedakannya dengan masyarakat yang lain.
Tapi, Anis mungkin saja
memiliki maksud tersendiri atas harmoni yang ia ungkapkan itu. Misalnya
saja harmoni yang ia maksud adalah harmoni yang kompleks. Harmoni yang
ia maksud lebih daripada harmoni Yin Yang, yang dikotomis itu, dua
komponen saja. Harmoni yang ia maksud bisa jadi kurang lebihnya sama
seperti Clifford Gertz yang menggambarkan entitas masyarakat budaya Jawa
dalam tiga kategori: santri, priyayi, dan abangan. Jadi, bukan
dikotomis, santri dan abangan saja. Dan ini sah-sah saja.
Karenanya, memperdebatkan
penyebutan khas atau tidak itupun akhirnya mungkin jadi tidak penting.
Namun, sekiranya Anis tidak mengatakan bahwa itu suatu kekhasan
Indonesia, (dan hanya menyebut bahwa harmoni itu value yang dominan di
masyarakat Indonesia, misalnya, atau core value saja), itu
rasanya lebih mengena. Sama dengan cinta dan kerja, yang tidak bisa
menjadi klaim satu masyarakat tertentu saja sebagai core value khas mereka. Sekalipun itu masyarakat Prancis sana, misalnya.
Lebih dari itu, tanpa
mengkhaskannya dengan Indonesia, term harmoni itu pun akan lebih terasa
membuka pintu menuju ruang kebersamaan dengan “saudara-saudara” se-Asia,
yang memiliki ‘bahasa batin bersama’, yaitu harmoni itu sendiri.
Apalagi bila disebut-sebut bahwa itu adalah core value Asia, yang kita adalah bagian di dalamnya.
Dengan begitu, PKS
mungkin bisa berharap, adanya hasil yang sama dengan hasil dari upaya
Anis menawarkan cara berfikir yang strategis belakangan ini kepada
kader-kadernya, yaitu motivasi yang tinggi berbuah kemenangan.
Perhatikan rekaman di you tube
bagaimana Anis memotivasi kader-kader PKS itu. Di Cirebon misalnya.
Ini berlangsung menjelang Pilkada Jabar. Di sini Anis tidak berbicara
bagaimana memenangkan pilkada Jabar. Yang ia bicarakan justru bagaimana
agar PKS menjadi pemenang Pemilu 2014. Selain itu lihat juga orasinya di
Bali. Ini daerah yang tidak dalam suasana menjelang pilkada. Anis
mengajak kader PKS untuk tidak berbicara bagaimana memenangkan Pemilu
2014, tapi bagaimana memimpin Indonesia. Selalu, Anis mengajak kader PKS
melihat apa yang ada di balik agenda atau peristiwa di depan mata
mereka, out of the box. Dan selalu, ada semangat yang meningkat terlihat pada para kader PKS usai menyimak orasi Anis itu.
Kembali kepada harmoni.
Karena ia adalah ‘bahasa batin bersama’ orang Timur, ia adalah laksana
mata uang bersama orang Eropa sana, Euro. Negara mana yang paling massif
memperkaya dan menguatkannya, negara itulah yang memimpin kawasan itu.
Dalam konteks Asia, negara yang paling massif memperkaya dan menguatkan
atau mengokohkan harmoni, negara itulah yang —meminjam visi
Malaysia–menjadi: Trully Asia. Asia yang sesungguhya. Core dari Asia.
Mengokohkan harmoni,
dengan demikian sejatinya bukan saja kerja level nasional. Tapi juga
kerja se- kawasan Asia. Karena itu, ketika PKS men-tagline- kan
harmoni, ini strategis meluaskan konteks kesadaran kader PKS, dan
mengumpulkan energi untuk membuat Indonesia kembali bersinar di Asia.
Sebagai dampak dari itu,
kerja pemenangan di level nasional bukanlah kerja yang terlampau berat
dirasa. Kerja-kerja kader PKS yang visinya tidak hanya untuk
mengindonesia itu, namun juga mengasia, pastilah akan ‘dialiri’ spirit
yang luar biasa, yang mampu mendorong PKS menuju targetnya di negeri
ini.
Hanya saja, pasti sangat
bisa dirasa, rentang waktu untuk kerja mengasia itu bukan kerja yang
singkat. Tidak cukup 5 tahun. Dalam konteks seperti ini mungkin dapat
dipahami bahwa kerja politik sejatinya adalah kerja peradaban juga.
Kerja yang butuh waktu lama. Untuk itulah rasanya relevan, mengapa Anis
menyitir sebaris kata-kata Chairil Anwar….Aku ingin hidup seribu tahun
lagi…!
Syafrudin (Kompasiana)