Cinta adalah bahasa universal yang mudah dimengerti di belahan dunia manapun. Cinta juga adalah “mata uang” yang diterima di setiap sudut bumi. Setiap orang di pelosok manapun di kolong langit ini, tua muda, kaya miskin, akan tersentuh hatinya bila disapa dengan berbagai kosa kata dari bahasa cinta ini, sekeras apapun hatinya itu. Ya, ini adalah bahasa hati, sehingga tidak perlu mengernyitkan dahi dan membuka kamus tebal untuk menterjemahkannya.
Setiap insan yang senantiasa memelihara dan menjaga hatinya sajalah yang akan memahami bahasa ini dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Dengan kata lain, tentu hanya hati yang sudah “mati” sajalah, yang tidak mampu menyongsong tawaran cinta ini yang sebenarnya sanggup menembus sekat kokoh antar umat yang berbeda bahasa bahkan budaya sekalipun. Hati yang mati bahkan tidak akan mampu menangkap sinyal cinta sekuat apapun, yang dipancarkan sang “operator” cinta, walau sudah dipancarkan lebih dekat dari batang hidungnya.
Fenomena inilah yang sedang kita saksikan saat ini, ketika sebuah institusi bernama PKS mencoba memasuki ruang-ruang bernas hati rakyat Indonesia yang punya lebih dari 300 bahasa daerah mereka masing-masing. Para kader PKS saat ini sedang di”provokasi” dan dipaksa memakai bahasa ini untuk menembus relung-relung jiwa yang haus dan rindu sentuhan khas yang hanya dimiliki oleh “makhluk” bernama cinta ini.
Dan ini bukan hanya basa-basi dan retorika belaka. Tidak tanggung-tanggung, Presiden PKS dalam setiap kesempatannya selalu menghembuskan kata ini ke dalam kalbu setiap kader yang ternyata menelurkan energi yang luar biasa. Energi yang menular dan dirasakan oleh simpatisan serta orang-orang yang sedang menunggu kiprah PKS. Di setiap penjuru kata-kata ini di”upload” oleh sang Presiden dan seketika itu juga langsung di”download” dan langsung dijadikan “icon” utama di halaman hati kader dan rakyat yang bersimpati.
Pekerjaan ini sepertinya mudah saja bagi PKS karena aroma cinta yang ditawarkan ini berasal dan bersandar dari Sang Maha Pencinta. Dia adalah yang Maha menguasai hati, sehingga dengan mulus akan mudah menembus hati-hati yang bersih yang belum terkontaminasi virus-virus perusak hati. Justru kesulitan sepertinya terjadi pada ladang-ladang hati yang gersang. Mereka sulit menerima bahasa cinta ala PKS ini, bukan karena tidak mengerti. Bahkan mereka sangat paham dan jauh di lubuk hatinya ingin sekali menyambut uluran tangan penuh cinta itu. Dan juga bukan, sekali lagi bukan pula karena hati mereka telah “mati” (na’uzubillah min dzalik).
Tetapi kemungkinan terbesar adalah mereka agak terkaget-kaget dengan kenyataan bahwa bahasa ini keluar dari sebuah partai yang sedang “teraniaya” dan sedang berusaha keluar dari jurang “kehancuran” seperti yang diramalkan dan diyakini oleh mereka sendiri. Bagaimana mungkin kata-kata itu bisa dihembuskan dari mulut-mulut yang diharapkan mengumbar kemarahan dari tragedi yang dijeratkan kepadanya. Mengapa bahasa cinta ini pula yang mula-mula dipakai untuk menyapa kader-kadernya dan seluruh rakyat di penjuru negeri ini, bukannya kemarahan dan keputusasaan dikarenakan prahara itu telah menusuk telak ke jantung partai yang mengusung slogan bersih, peduli, profesional. Hal itu mungkin membuat sebagian besar dari mereka gamang menyambut tawaran cinta yang diulurkan tanpa preseden apapun ini. Sebagian juga malu-malu menyambutnya sambil lirik kiri-kanan dahulu menimbang untung ruginya.
Tapi tidak sedikit juga yang menyambut dan menerima dengan segenap raga dan jiwa mereka. Begitulah semestinya yang terjadi. Bukankah seharusnya hati ini tentram damai menerima aliran hangat cinta yang dilumuri keyakinan dan harapan bahwa Sang Maha Pencinta-lah yang menjadi motif utamanya.
Jadi melalui tulisannya, saya ingin menyerukan pada PKS, teruslah mendengungkan bahasa cinta ala PKS ini. Saya yakin bahasa ini sudah lama dinanti oleh seluruh lapisan rakyat negeri ini. Jangan terpengaruh dengan oknum yang merendahkan upaya ini. Cepat atau lambat mereka pasti akan mengikuti langkah ini.
Salam cinta
Uda Chaniago/Kompasiana