Coba
amati satu persatu perabotan di rumah dan ingat-ingatlah proses saat
Anda memperolehnya. Mana yang lebih banyak, dibeli tunai atau utang?
Memang, membeli barang dengan cara utang
atau kredit tidak melulu buruk. Hanya, bila barang-barang di rumah
ternyata lebih banyak yang diperoleh dengan kredit, kita harus waspada.
Jangan-jangan kita sudah terperosok dalam gaya hidup yang berbahaya
dengan mudah sekali memutuskan membeli barang secara kredit.
Kenyataannya, kini kita memang sudah
dikelilingi berbagai fasilitas dan penawaran kredit yang sangat
memanjakan insting konsumtif kita. Hampir semua barang kebutuhan bisa
didapatkan dengan kredit. Mulai dari rumah, motor, sampai panci.
Iming-imingnya pun sangat menggoda, dari yang menawarkan uang muka
sangat murah sampai bunga nol persen.
Sepeda motor, misalnya, kita tidak perlu
menunggu hingga mempunyai uang belasan juta untuk bisa memilikinya.
Kini, dengan dana 500 ribu rupiah saja kita sudah bisa membawa pulang
sebuah sepeda motor dan memakainya ke mana-mana. Pesona dan gengsi yang
melekat pada produk membuat kita lupa berpikir panjang, sanggupkah kita
membayar cicilannya sampai lunas?
Gejala ini meluas di masyarakat kita.
Kita sering tergoda memiliki barang-barang dengan cara utang padahal
barang itu sebenarnya tidak mendesak untuk kita miliki. Menurut
perencana keuangan dari Zelts Consulting, Ahmad Gozali,
kondisi ini membahayakan. “Kebanyakan masyarakat suka kredit
barang-barang yang sifatnya konsumtif,” ujarnya. Padahal, tambahnya,
berutang hanya boleh dilakukan untuk barang-barang yang produktif atau
untuk keperluan mendesak.
REGULASI DAN POPULASI
Apa yang mendorong menjamurnya gaya
hidup mudah berutang ini? Menurut Ahmad, faktor pendorong pertama adalah
regulasi yang terlalu longgar. “Untuk kredit-kredit konsumtif itu tidak
terlalu dibatasi oleh BI sehingga sangat dimudahkan,” ungkapnya.
Efeknya terlihat jelas, sepeda motor dengan harga Rp12 juta dapat dengan
mudah dibawa pulang dengan uang Rp500 ribu. TV plasma seharga Rp8-10
juta pun bisa dimiliki dengan uang awal Rp200 ribu.
Lantas, apakah yang mengambil kredit
sepeda motor itu benar-benar butuh sepeda motor? Belum tentu. Beberapa
dari mereka sebenarnya bisa saja pergi ke tempat kerja dengan
menggunakan angkutan umum. Namun gengsi dan hawa nafsu mendorong mereka
untuk tetap kredit motor. TV, lebih parah lagi. Kotak elektronik yang
acaranya lebih banyak yang negatif daripada positif ini sebenarnya lebih
tak layak lagi untuk diutangi.
Lembaga keuangan juga kerap kali
“bandel”. Demi mengejar komisi penjualan mereka tidak selektif dalam
mengabulkan sebuah aplikasi kredit. “Sering sekali kita lihat si pemohon
sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kredit, tapi karena
mengejar komisi akhirnya diloloskan juga,” tutur Ahmad. Maka semakin
gemarlah masyarakat untuk berutang.
Untuk membenahi kondisi ini, mulai Juli
2012 akan ada peraturan baru. Pemerintah akan memperketat peraturan
kredit. “Nanti tidak bisa lagi banting-banting DP (down payment).
Uang muka angsuran minimal 20% dari nilai barang,” urai Ahmad.
Kebijakan ini bertujuan mencegah terjadinya kredit macet dan menjauhkan
masyarakat dari kebiasaan berutang.
Faktor kedua yang mendorong maraknya
gaya hidup berutang ini adalah tumbuh pesatnya pertumbuhan populasi
penduduk kalangan menengah Indonesia. Menurut Bank Dunia, penduduk
kalangan menengah adalah kalangan yang pengeluarannya sekitar US$2-20
per kapita/hari. Atau, sekitar US$20-200 ribu rupiah per kapita/hari.
Kalau dari segi penghasilan sekitar 2,5 sampai 20 juta rupiah perbulan.
“Kalangan menengah ini mereka yang sudah tidak pusing lagi memikirkan
kebutuhan pokok dan sudah mulai memikirkan kebutuhan sekunder dan
tersier,” jelas Ahmad. “Tapi, untuk kebutuhan-kebutuhan sekunder itu
kadang dia juga belum bisa beli tunai, akhirnya dia kredit.”
JAGA KUALITAS HIDUP
Ketika sampai di posisi kalangan
menengah inilah seseorang harus wasapada. Walaupun sudah aman dari
pemenuhan kebutuhan pokok, tapi jangan sampai ge-er bisa memenuhi semua kebutuhan sekunder, apalagi dengan cara kredit yang otomatis membuat harga barang jadi lebih mahal.
Menahan diri untuk tidak berutang
barang-barang konsumtif meskipun kreditnya terasa ringan adalah hal
bijak. Untuk barang-barang konsumtif, Ahmad punya tips sederhana, “Kalau
uangnya ada silakan beli, tapi kalau uangnya belum ada, enggak usah
beli.”
Sedangkan untuk barang-barang produktif,
kredit dengan perhitungan yang cermat bisa ditolerir. Ini penting agar
kita tidak terjerat utang yang bisa membawa akibat-akibat buruk, seperti
perasaan yang terus-menerus was-was, silaturahim yang jadi renggang,
kebutuhan masa depan yang sulit dipenuhi, bahkan kebutuhan pokok hari
ini yang jadi kian berat.
Muara dari jeratan utang adalah
menurunnya kualitas hidup. “Bertambahnya barang-barang belum tentu
meningkatkan kualitas hidup. Sedangkan bertambahnya utang jelas
mengurangi kualitas hidup,” pungkas Ahmad, tegas.
Sumber : http://ummi-online.com