(ilustrasi: google)
Bicaranya
apa adanya. Lisannya begitu fasih menceritakan perjuangan hidupnya.
Remaja usia 17 tahun itu sedang berbagi sepenggal kisah sebelum
merasakan bangku sekolah di tingkat SMA.
Tri,
panggilannya. Remaja asal Brebes ini nyaris kehilangan harapan
melanjutkan studi selepas SMP. Masih teringat jelas di sendu wajahnya
saat kehilangan ayahanda tercinta kala duduk di kelas dua SMP. Sedih
karena kehilangan sosok ayah, ngeri membayangkan nasib di hadapan tanpa
penyokong ekonomi keluarga. Sejak itu, Tri menata kembali semangat untuk
berprestasi dalam akademiknya. Melesat jauh, Tri berhasil menggondol
predikat 3 besar NEM tertinggi di sekolahnya. Di luar dugaan teman-teman
dan guru-gurunya.
Tri
sadar, sepertinya ia harus menunda mimpinya untuk melanjutkan ke
jenjang SMA/K. Keluarganya tidak mampu menyekolahkannya. Tri melanjutkan
perjuangan hidupnya untuk mengais nafkah di kota Bandung. Bahkan, ia
belum sempat merasakan momen perpisahan di sekolah demi memburu rezeki
bagi keluarga.
Di
kota kembang, Tri jalani banyak pekerjaan. Mulai menjadi tenaga bantu di
bengkel, membantu di rumah makan, menjadi asisten rumah pun ia jabani.
Hampir setahun ‘karir’ serabutan ia jalani. Meski di lubuk hati yang
paling dalam, Tri ingin sekali sekolah. Ia bercita-cita menjadi ahli
mesin yang andal.
Hingga
satu waktu, ada kerabat yang mengajaknya hijrah ke Kota Tangerang
Selatan. Di kota ini, Tri akan menjalani ‘karir’ barunya sebagai
menjual ketoprak . Ya penjual ketoprak termuda mungkin! Di usianya yang
baru beranjak 16 tahun. Tri mulai belajar mengolah bumbu, berkeliling
antar kampung untuk menjajakan dagangannya. Lelah, letih, capek kerap
melanda batin dan fisiknya. Namun, saat rasa lemah itu muncul, segera
ia kumpulkan kenangan wajah almarhum Bapak untuk membangkitkan
semangatnya.
Satu
siang di bawah terik matahari menyengat, seperti biasa tubuh kurus Tri
sedang mendorong gerobak ketoprak kesayangannya. Melintasi satu sekolah
menengah atas swasta, pandangannya begitu antusias melihat para pelajar
di dalam sekolah tersebut. Sepertinya sedang jam istirahat. Begitu
terpesonanya, hingga Tri tidak sadar roda gerobaknya nyaris terperosok
ke dalam selokan jalan.
Malamnya,
bayangan ‘sekolah’ semakin kuat terngiang dalam pikirannya. Hingga ia
nekad menuju satu sekolah di bilangan Jombang Raya Bintaro untuk
mendaftar seadanya. Hanya berbekal ijazah SMP tanpa uang sepeser pun.
Sang kepala sekolah sayangnya menolaknya. Namun, melihat semangatnya
justru sang Kepsek membantunya untuk menghubungi sekolah kejuruan negeri
di Pondok Aren. Bahkan sang kepsek memberikan nomor telepon jika
dibutuhkan.
Ya,
cocok sekali di SMK negeri itu ada satu jurusan kesukaannya, Mesin.
Sesuai harapannya Tri bertekad menjadi ahli mesin. Berbekal bismillah,
kembali ia kuatkan tekad menuju ruang Kepala Sekolah SMK itu. Cukup unik
memang cara Tri. Alhamdulillah sang Kepsek begitu tergugah melihat
perjuangannya. Ia disarankan untuk mencoba mendaftar di tahun ajaran
baru.
Di
masa pendaftaran, Tri tekadkan untuk masuk SMK itu. Mengikhlaskan untuk
meninggalkan profesi tukang ketopraknya, dengan berbekal apa adanya.
Sempat terpikir bagaimana ongkos ke sekolah, biaya hidup, makan, dan
kebutuhan lainnya. Hingga pengumuman itu mumcul, Tri resmi diterima di
SMK Negeri tersebut. Begitu bahagia, akhirnya ia akan kembali memakai
seragam.
Pertolongan
Alloh datang bertubi-tubi. Pasti bagi hambaNya yang bersungguh-sungguh.
Tri menghubungi nomor kepsek sekolah pertama yang menolaknya
mengabarkan berita baik diterimanya di SMK tersebut. Tanpa diduga, sang
Bapak menawarinya bekerja menjadi asisten pembantu umum di sekolah yang
ia pimpin. Bahkan sang Bapak memberi link orang tua asuh selama Tri
bersekolah.
Di
akhir ceritanya, Tri meyakinkan bahwa Alloh senantiasa bersama
orang-orang yang benar-benar berikhtiar. Di tengah keterbatasannya, Tri
pun tertolong oleh orang-orang yang telah dikirimkan Alloh untuknya.
Sumber : http://www.iswandibanna.com